Bertemu dengan pengemis! Itu hal yang paling tidak
saya sukai jika kebetulan harus ke mall atau took-toko sekitarnya di
kota tempat tinggal saya. Kenapa? Karena selalu bikin saya serba salah :
antara member uang atau tidak. Di tempat ini banyak sekali pengemis,
dulu saya sampai menyediakan anggaran khusus dan menukar uang ribuan
berlembar-lembar bika berniat hendak ke mall. Belakangan, saya jadi
serba salah : haruskah member mereka uang atau dicuekin saja? Banyak
teman yang asli orang sini atau sudah bertahun-tahun tinggal disini,
melarang saya member uang pada pengemis di kawasan mall, jembatan
penyeberangan dan lampu merah. Katanya jika kita member justru
melestarikan “pekerjaan” mengemis dan memperkaya boss-nya semata. Tapi
di sisi lain, hati kecil saya kerap iba melihat mereka.
Anehnya, baskom plastik atau gelas bekas minuman
kemasan yang mereka pakai untuk menadah uang belas kasihan dari pemakai
jalan atau pengunjung mall, selalu hanya terisi beberapa recehan koin
500-an, 200-an, 100-an saja. Tak selembar pun ada ribuan, padahal saya
yakin ada yang member ribuan, termasuk saya. Sekali waktu saya amati,
setelah memberikan selembar ribuan, saya berlalu 2 langkah lalu kembali
menolah. Ternyata si pengemis memungut uang yang saya berikan lalu
memasukkan ke balik bajunya. Jadi orang yang melintas setelah saya
kembali hanya akan melihat recehan tak seberapa.
Jumat kemarin, setelah selesai urusan saya di bank,
saya bermaksud makan siang di mall sekitar 30 meter dari bank. Saya
masuk dari pintu loby sebelah kanan mall.Seorang pengemis kurus dan
wajah mengenaskan bersimpuh di sana. Saya mengulurkan selembar 2000-an
dan dia langsung merebut uang itu dari tangan saya, kemudian
memasukkannya ke balik bajunya. Sejam kemudian, saya keluar dari mall
dan hendalk kembali ke kantor lewat pintu loby mall sebelah kiri.
Ternyata si pengemis yang tadi sudah pindah tempat dan kembali ia
menadahkan tangannya. Saya jawab : “Sudah kan tadi di sebelah sana?”.
Dia langsung berpaling dari saya dan mencari sasaran berikutnya. Saya
lirik baskom plastiknya, hanya ada 3 koin recehan, persis seperti
kondisi sejam lalu saat dia masih di tempat yang berbeda.
———————————————
Beberapa waktu lalu pernah beredar BBM yang katanya
dikutip dari berita di Pos Kota tentang riset sederhana yang dilakukan
pada seorang pengemis di kawasan lampu merah tertentu di Jakarta. Tiap 1
menit lampu berganti merah – hijau. Tiap kali lampu merah setidaknya si
pengemis mendapat uang 2000 rupiah. Jika sejam lampu merah menyala 30x,
uang yang dikumpulkannya Rp. 60.000,-. Sehari ia bekerja 10 jam,
artinya penghasilannya Rp. 600.000,-/hari. Karena ia tak mengenal libur
week end, sebulan 30 hari kerja, total penghasilannya 18 juta sebulan!
Ahaiii…, anda harus bekerja bertahun-tahun setelah menamatkan sarjana
anda, berkompetisi mencapai posisi Manager, baru bisa mendapat
penghasilan sebegitu banyaknya. Belum lagi resiko pekerjaan dan jabatan.
Entah BBM tersebut benar atau hoax belaka, yang
jelas sekitar 1,5 tahun lalu saya membaca sebuah Koran online, Kaltim
Pos kalo tidak salah, yang memberitakan razia pengemis di Samarinda.
Seorang nenek tua yang punya beberapa cacat tubuh, meronta-ronta dan
menangis sekerasnya sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan Satpol
PP. Menangkap nenek cacat ini justru paling sulit karena dia melawan.
Menurut teman-temannya sesama pengemis, nenek itu memang pengemis
“favorit” dan anak emas si boss. Setorannya sehari minimal 1,8 juta!
Karena tubuhnya yang menderita beberapa cacat, pengemudi mobil sering
iba padanya. Uang yang diberikan tak pernah uang kecil. Lembaran
10.000-an sampai 50.000-an kerap mampir ke baskomnya. Kalau si nenek
cuma membawa pulang uang 1,8 juta, si boss marah dan menyebutnya malas,
tak mau berusaha. Sebab, si nenek seringkali mendapat lebih dari itu.
Pantas saja si nenek yang asal Madura itu rela merantau keluar pulau
demi pendapatan yang jauh lebih baik.
Lain lagi pengalaman pembantu yang bekerja di rumah
ibu kost saya di Surabaya dulu. Tiap pagi ibu kost saya jalan-jalan
pagi bersama ibu-ibu komplek lainnya. Pulangnya,sekitar jam 7 pagi,
beliau selalu diikuti seorang pengemis berkerudung. Ibu lalu memanggil
pembantunya dan menyuruh Ningsih – sebut saja begitu –mengambil
kembalian uang belanja 1000 rupiah untuk diberikan pada pengemis itu.
Suatu pagi, Ningsih datang sambil mukanya ditekuk. Begitu masuk rumah ia
langsung meminta majikannya tak lagi memberi sepeser pun uang pada si
pengemis langganan. Usut punya usut, Ningsih – yang tiap sore pulang ke
rumahnya, masih satu kelurahan dengan kami – semalam mengeluh pada
kakaknya. Anak Ningsih akan ikut ujian dan harus melunasi semua uang
sekolahnya. Karena tak punya uang cukup, Ningsih berniat pinjam uang
pada kakaknya. Sayangnya, kali itu kakaknya juga lagi tongpes. Tapi demi
kelanjutan pendidikan keponakannya, si kakak menyarankan Ningsih
menemui seseorang yang bisa member pinjaman uang dengan jangka waktu
tertentu dan berbunga. Ya, renternir begitulah! Kakaknya berjanji akan
membantu membayar bunganya, Ningsih tinggal mengangsur pokok utangnya.
Ningsih setuju saja. Jadilah mereka berdua pergi ke rumah si rentenir.
Menunggu lama, Ningsih sempat mengagumi rumah si rentenir kaya yang
katanya cukup besar dan perabotannya komplit. Ketika pemilik rumah
keluar, betapa kagetnya Ningsih : dialah si pengemis berkerudung! Di
rumah penampilannya lain : bajunya bagus, tanpa kerudung, kedua
tangannya memakai gelang emas. Setelah hilang dari kagetnya, kontan
Ningsih berdiri dan menyeret tangan kakanya, sambil berkata : “Oh, ini
toh juragan kaya yang kerjaannya minjemin duit? Gak sudi aku pinjem duit
dari pengemis yang nipu! Gini-gini aku masih punya harga diri!”. Nah
lho! Entah jam berapa si pengemis berkerudung keluar dari rumahnya tiap
pagi untuk memulai “operasi”nya. Saya sering melihat pengemis jenis ini
berjalan bersama beberapa orang lalu menyebar saat tiba di perumahan.
Dan biasanya pengemis jenis ini, yang berlagak sopan tutur katanya,
selalu didahului dengan mengucap salam, tapi selalu memaksa. Mereka
betah berdiri lama di depan pintu pagar rumah yang tertutup sambil terus
mengucap salam, sampai penghuninya keluar. Meski seisi rumah sedang
beraktivitas di bagian belakang rumah, pengemis nekad ini tetap saja
mengguncang-guncangkan pintu pagar sampai pemilik rumah keluar, dengan
uang tentu saja!
Dari semua cerita di atas, sebenarnya siapakah para
pengemis di kota-kota besar? Benarkah mereka fakir miskin yang patut
dikasihani dan karena itu perlu kita sisihkan uang bagi mereka, ataukah
justru mereka pemalas yang mau kaya dengan cara mudah dan sedikit
menipu, itu sebabnya tak perlu kita member uang padanya? Duh…, sulit
menjawabnya. Kadang hati saya berperang ketika sinisme saya muncul dan
tak mau memberikan uang, sisi lain hati saya mengingatkan : “Bagaimana
kalo orang itu benar-benar mengemis karena terpaksa dan untuk sekedar
bisa makan? Bagaimana kaloia pengemis “mandiri” yang tidak dikelola oleh
seorang boss yang memberinya rumah tumpangan, dan ia sudah semalaman di
jalanan karena tak ada yang memberinya uang?”
Umumnya pengemis hanya terdapat di kota. Semakin
besar dan ramai suatu kota, makin banyak ditemui pengemis. Di kampung,
pengemis hampir tidak ada. Semua orang bekerja, sesederhana apapun
pekerjaannya – meski tak menghasilkan uang – setidaknya bisa untuk makan
sehari-hari. Misalnya mencari ikan di hulu sungai sekedar untuk makan,
menanam sayuran yang bisa dipetik untuk makan sekeluarga dan sisanya
bisa jual ke pasar. Salah satu kerabat istri sepupu saya pekerjaannya
cuma mencari tokek. Tiap malam ia mendapatkan 2-3 ekor tokek, disetorkan
kepada pengepulyang katanya untuk dijadikan obat. Seekor tokek dihargai
mulai 2000 rupiah tergantung besar kecilnya. Uang hasil penjualan tokek
bisa dibelikan beras. Untuk lauknya cukup memetik sayur di halaman yang
ditanam istrinya dan menangkap ikan di sungai bersama anaknya. Kalau
sekedar hidup saja memang bisa, tapi ketika seseorang sudah mulai ingin
membangun rumah, membeli kendaraan, maka tentu harus bekerja yang
menghasilkan uang. Dan pekerjaan apa yang pasti menghasilkan uang tanpa
melamar, tanpa harus menghasilkan sesuatu kalau bukan mengemis?
Tak usahlah dengan hitungan yang muluk-muluk. Jika
seharian mengemis bisa mendapat 50 ribu saja, sebulan bisa 1,5 juta,
sudah lebih tinggi dari UMK DKI 2011. Tidak perlu modal, tak ada resiko
merugi, tak ada resiko di PHK atau habis kontrak tiap tahun. Selama daya
tarik uang dari hasil mengemis masih lebih menggiurkan ketimbang
menjadi buruh atau pembantu rumah tangga, berapa kali pun dilakukan
razia,mereka akan kembali lagi. Pengemis di kota-kota besar macam Jakart
dan Surabaya umumnya urban dari daerah yang jauh. Merantau dari kampung
halaman hanya untuk jadi pengemis di kota, yang penting hasil yang
dikirim ke kampung lumayan besar. Saya pernah melihat tayangan TV
tentang suatu kampung yang hamper semua warganya mengemis ke berbagai
kota. Tahukah anda seperti apa kampung itu? Wow,makmur! Rumah-rumah
warganya mentereng dilengkapi perabotan komplit dan alat elektronik
model terbaru. Semuanya dari hasil menjadi pengemis. Nah, masih lebih
enak ketimbang jadi TKI dengan resiko mati babak belur dianiaya majikan
kan? So…, sebenarnya pengemis itu si miskin yang memang perlu kita
kasihani atau sim alas yang mau dapat duit banyak dengan usaha minimal?
Hati kecil kita lah yang bisa menjawabnya.
SUMBER