Tak banyak orang seperti Tubagus
Muhammad Ismail. Ketika yang lain sulit mencari kerja, dia malah
meninggalkan pekerjaan dengan gaji Rp 10 juta per bulan. Ismail lebih
memilih berjualan es tebu keliling dan sales parfum murah.
ROMBONG es tebu itu dikerumuni
ibu-ibu muda ketika melintas di kawasan Wage, Sidoarjo. Tawa riang dan
canda mereka berbaur dengan suara anak-anak yang berebut membeli. Susana
itu hampir terjadi tiap hari pukul 15.00-17.00.
Itulah rutinitas Tubagus
Muhammad Ismail menjajakan es tebunya di kawasan tersebut. Pria 39 tahun
itu berbeda dari penjual es tebu lain. Penampilannya rapi, bersih,
pakaian necis, dan wangi. Dengan tinggi badan sekitar 170 cm, kulit
putih, paras tampan, pria berdarah Banten-Sunda-Padang itu jauh dari
mainstream penjual es tebu keliling.
Karena itu, tak heran Ismail
merupakan tukang tebu favorit -setidaknya- di kawasan Wage. Seorang
warga perumahan bahkan menjuluki Ismail sebagai tukang tebu terganteng
se-Asia Tenggara.
Ada cerita, pernah seorang ibu
yang naik sepeda terjebur got gara-gara meleng melihat Ismail nggenjot
rombong tebunya. ''Tapi, saya tak tahu cerita persisnya seperti apa.
Saya hanya diberi tahu tetangga saya,'' kata Ismail lalu tersenyum.
Pria ramah itu tak hanya punya
nilai lebih dari segi fisik, tapi juga idealisme. Karena idealisme
itulah dia memilih mundur dari pekerjaannya sebagai legal staff di
sebuah perusahaan rokok besar di Surabaya. Padahal, di tempat tersebut,
dia punya gaji cukup besar, Rp 10 juta per bulan.
Sementara hasil jualan es tebu
keliling itu, paling banter dia dapat Rp 1,5 juta per bulan. ''Ini
pendapat saya pribadi, bukan bermaksud memojokkan siapa-siapa,''
katanya. ''Saya merasa bahwa rokok adalah sesuatu yang mudharat-nya jauh
lebih besar daripada manfaatnya. Itulah yang membuat saya bimbang, saya
bekerja di industri yang seperti itu,'' lanjut bapak satu anak
tersebut. ''Makanya, saya lebih bahagia sekarang, meski pendapatan
pas-pasan. Kedamaian hati, itu yang paling penting,'' sambungnya.
Ismail kemudian menuturkan
kisahnya. ''Ketika kuliah, saya sudah bekerja di perusahaan advertising,
anak perusahaan rokok itu,'' katanya. Itu terjadi pada 1991 saat
kuliahnya di Fakultas Hukum Untag memasuki tahap akhir. Setahun
kemudian, dia dipindahkan ke induknya, bagian legal department. ''Waktu
pindah, saya belum lulus,'' paparnya.
Ismail baru lulus setahun
kemudian. Kelulusan itu mendongkrak eselon dan gajinya di perusahaan
tersebut. Konditenya selalu baik. Pelan-pelan gajinya naik. Karena
tempatnya bekerja merupakan salah satu perusahaan dengan rate gaji
tertinggi di Surabaya, Ismail hidup berkecukupan.
Hidupnya mapan, tinggal di rumah
tipe 45 di Griyo Wage Asri. ''Hingga saya resign pada 2007, gaji saya
Rp 10 juta. Itu belum termasuk bonus dan tunjangan lain,'' kenangnya.
Meski gajinya besar, dia selalu
gelisah. Puncaknya terjadi pada 2005. ''Saya merasa industri tempat saya
bekerja tidak cocok dengan hati nurani saya,'' tuturnya. Rokok, bagi
Ismail, adalah hal paling merugikan dalam kehidupan. Terutama dari sudut
pandang imannya.
Ismail memang religius. ''Sejak
kecil, orang tua saya selalu menekankan nilai-nilai Islam yang kuat
kepada saya,'' paparnya. Ajaran itu terus terbawa hingga sekarang.
Karena itu, Ismail selalu berusaha ikut pengajian di mana pun. ''Untuk
menambah ilmu,'' tuturnya.
Hampir semua pengajian di
Surabaya dan Sidoarjo pernah dia datangi. Bahkan, dia selalu
menyempatkan ikut kuliah subuh di TVRI. Tapi, dia mengaku tak ikut
sebuah organisasi keagamaan apa pun. ''Saya tak ikut PKS atau apa pun.
Saya lebih suka begini saja,'' katanya.
Dalam Islam, rokok dianggap
makruh (sesuatu yang sebaiknya ditinggalkan). Bahkan, sebagian ulama
menilai haram. ''Itu yang memengaruhi pemikiran saya,'' katanya.
Apalagi, ikhwan-ikhwan (saudara)
sepengajian sering mengingatkan dia. Juga mengirim e-mail berisi
tulisan dan gambar tentang akibat merokok. ''Ngeri, ngeri, kalau melihat
gambarnya. Paru-paru yang hitam membusuk, orang yang kondisinya
sekarat, wahh... pokoknya mengerikan,'' tuturnya.
Satu pemikiran mulai menusuk
dirinya. ''Masak sih saya memberi makan anak dan istri dengan uang yang
dihasilkan dari industri yang merusak masyarakat,'' katanya lalu
buru-buru menambahkan bahwa itu pendapatnya pribadi.
Sejak itu, kinerja Ismail
melorot drastis. Manajemen perusahaan melihat perubahan tersebut.
Manajemen yang bijak mengajak Ismail berbicara dari hati ke hati. Karena
memang sudah bimbang, Ismail memutuskan mundur dari perusahaan pada
Juni 2007. ''Saya akan merugikan perusahaan bila tidak bisa kerja
maksimal. Karena situasinya seperti itu, saya pikir inilah titik untuk
hijrah. Saya keluar secara baik-baik,'' urainya.
Atas jasa-jasanya selama 16
tahun bekerja, perusahaan memberi pesangon Rp 400 juta. Selepas dari
perusahaan, Ismail melakukan apa saja yang halal untuk menyambung hidup.
Di antaranya, menjadi sales parfum tiruan. ''Saya menemukan dunia yang
asyik. Ternyata, saya juga punya potensi di bidang marketing,'' katanya
dengan mata berbinar.
Untuk menambah penghasilan,
Ismail berjualan es tebu. ''Saya bertemu pemilik Mr Tebu dan saya
membeli franchise-nya seharga Rp 10 juta. Itu sudah dapat rombong dan
peralatannya,'' tuturnya. Dia menggenjot sendiri rombong tersebut.
Perubahan hidup itu membuat Sri
Lestari -istri yang kini telah berpisah- kaget. Kata-kata seperti terus
kerjo opo, Pa? sering kali terucap. Ketika Ismail memutuskan menggenjot
sendiri rombong es tebunya, Sri nyaris tak percaya. ''Sing bener ae,
Pa?'' ujar Sri sebagaimana ditirukan Ismail.
Namun, Ismail bergeming. Melihat
keteguhan hati suaminya, Sri bisa memahami. ''Apalagi, tetap harus ada
penghasilan kan,'' katanya. Ismail tak bersedia mengungkapkan alasan
pisah dari istrinya.
Selain parfum dan es tebu,
Ismail mencoba jual beli apa saja. Mulai seprai hingga mobil. Namun,
hanya eceran. ''Maklum, dana terbatas dan penghasilan harus
ditingkatkan,'' ungkapnya.
Dari berjualan parfum, Ismail
hanya mendapatkan rata-rata Rp 600 ribu per bulan, sedangkan dari es
tebu dapat Rp 700 ribu-Rp 800 ribu. ''Tapi, saya bangga dengan pilihan
ini. Meski hanya jadi tukang es tebu dan sales parfum, saya jauh lebih
berbahagia daripada saat masih kerja di industri rokok,'' tegasnya.