Kisah Tasrifin
bocah berusia dua belas tahun putra dari Sartijo penduduk Dusun
Persawahan Desa Gunung Lurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas
Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai tiga orang adik, tiba tiba saja
menjadi pembicaraan rakyat Indonesia, Mulai dari para pejabat, sampai
kepada buruh. Mulai dari loby hotel berbintang, sampai kepada warung kopi, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mengirim Staf khusus Kepresidenan untuk menyampaikan bantuan Presiden
kepada Tasrifin. Sejak itu Tasrifin menjadi terkenal. Iapun diburu oleh
berbagai media baik media surat kabar maupun media elektronik online
mapun media televisi. Tasrifinpun berobah layaknya seperti salebritis
dan juga seperti politikus yang sering menjadi buruan media.
Tidak
ada yang luar biasa dari kisah hidup Tasrifin jika dibandingkan kisah
kisah duka anak Indonesia yang tidak terekpos oleh media. Tasrifin dalam
usianya dua belas tahun terpaksa putus sekolah karena mengambil tugas
dan tanggungjawab orang tuanya, itu adalah kisah yang biasa dialami oleh
anak anak Indonesia. Banyak anak anak Indonesia yang mengalami kisah
seperti itu, bahkan lebih parah dari pada apa yang dialami oleh
Tasrifin.
Lantas kenapa kita merasa
sedih terhadap kisah perjalanan hidup Tasrifin, lalu kenapa kita tidak
sedih atas perjalanan hidup anak anak nelayan yang berada di pesisir
pantai Selat Malaka. Mereka juga mengalami nasib yang sama dengan apa
yang dialami oleh Tasrifin. Dalam usia yang sama dengan Tasrifin anak
anak nelayan ini sudah bekerja sebagai nelayan, mengharungi lautan
berhadapan dengan ombak dan badai yang ganas. Mereka juga putus sekolah.
Katakanlah mereka mempunyai orang tua, tapi karena ketiadaan mereka
juga harus meninggalkan bangku sekolah seusia Tasrifin, karena keadaan
yang tidak mencukupi didalam lingkungan keluarganya. Mereka rela
berhujan dan berpanas serta berembun ditengah lautan untuk membantu
penghasilan keluarga.
Jika kita membaca kehidupan manusia
Pincalang (Perahu) di Provinsi Riau tentu kita akan lebih terenyuhlagi.
Dimana mereka hidup didalam pincalang ditengah lautan. Ancaman demi
ancaman yang sering datang mendera tanpa mereka ketahui entah kapan
berakhirnya. Berbulan bulan bahkan bertahun tahun secara turun temurun
mereka menjadi manusia pincalang. Anak anak mereka tidak mengenal sama
sekali nikmatnya duduk dibangku sekolah. Setiap saat mereka harus siap
untuk bertarung dengan ancaman Ombak dan Badai yang tidak dapat untuk
dideteksi kapan datangnya. Belum lagi ancaman yang datang dari para
lanun lanun laut yang siapa merampok, memperkosa dan membunuh. Namun
mereka tetap tabah dan sedikitpun mereka tidak pernah menjadi perhatian kita.
Taroklah
Manusia pincalang itu jauh dari pandangan mata kita, karena mereka
hidup berkelompok diatas pincalang ditengah laut atau dibalik balik
pulau diluasnya samudra. Ada yang begitu dekat dan melekat dari
pandangan mata kita, tapi inipun tidak pernah menjadi perhatian kita.
Malah kisah perjalanan hidupnya lebih tragis dari Tasrifin dan manusia
pincalang. Yakni mereka adalah anak anak yang kehilangan masa depannya.
Mereka menjadi pengemis dan gelandangan, setiap hari mereka berada di
setiap lampu merah. Untuk memperjuangkan hidupnya mereka rela berpanas
jika siang hari dan berembun pada malam hari dan tampa kenal dengan yang
namanya hujan.
Tidur
mereka juga diemperan toko, gedung bertingkat, dan tidak sedikit pula
diantara mereka yang harus tidur dikolong jembatan, karena mereka tidak
punya rumah untuk tempat tinggal. Terkadang mereka tinggal dengan adik
adiknya di emperan toko, gedung bertingkat dan dibawah kolong jembatan.
Hanya beralaskan Koran atawa kardus. Untuk memenuhi perut sejengkal
mereka terkadang tidak merasa malu jika harus mengorek ngorek tong
sampah untuk mencari sisa makanan yang dibuang oleh orang
orang kaya yang bersipat kapitalis dan borjuis. Dibanding dengan
kehidupan Tasrifin yang masih punya rumah tempat berteduh, dan masih
bisa tidur lelap walaupun diatas dipan yang reot. Bila dibanding dengan
bocah bocah gelandangan dan pengemis, yang tidak punya tempat tinggal
dan tidur hanya beralaskan Koran.
Jika
Tasfirin hidup ditengah tengah masyarakat yang ada memperhatikan
keselamatannya, beda dengan para anak anak pengemis dan gelandangan yang
harus tidur diemperan toko dan gedung bertingkat atau dibawah kolong
jembatan yang keselamatannya juga terancam. Kalau yang gelandangan itu
anak perempuan ancaman pemerkosan dan pelecehan sek setiap saat akan
mengancam nya, jika ia seorang laki laki, maka ancaman sodomi yang
sering kita dengar akan menjadi ancaman bagi dirinya.
Kenapa
terhadap mereka ini kita sepertinya tidak perduli. SBY seakan lupa
memperhatikan nasib mereka ini. Pada hal kisah perjalanan hidup mereka
untuk mempertahankan hidup lebih tragis bila dibandingkan dengan nasib
Tasrifin. Kita tidak apriori terhadap perhatian Presiden SBY kepada
Tasrifin. Tapi kita perlu juga menggugat, atas kealfaan Presiden SBY
terhadap nasib anak anak gelandangan dan pengemis yang hidupnya lebih
tragis dari Tasrifin. Apakah karena Tasrifin yang dibantu oleh Presiden
SBY adalah Tasrifin yang hidup dipulau jawa, lantas mengabaikan nasip
para Tasrifin yang ada didaerah luar jawa, Atau memang bantuan SBY
kepada Tasrifin hanya sebuah pencitraan?
Jika
seperti ini kebenarannya, pantaslah apa yang dikatakan oleh orang
Sumatera bahwa Pemimpin yang berasal dari daerah pulau Jawa mempunyai
Ismesentris yang tinggi terhadap suku diluar pulau jawa. Pada hal
sebagai seorang pemimpin haruslah menanggalkan ismesentrisnya dan harus
menganggap bahwa siapapun dia, berasal dari suku manapun dia tapi adalah
tetap sebagai Bangsa Indonesia.
Mari
kita buka mata kita, kita pandang Tasrifin Tasrifin yang lain, yang
begitu banyak tersebar di Nusantara, tapi luput dari pandangan kita.
Kita menjadi eforia terhadap kisah Tasrifin dalam menjalani kehidupannya
hanya biasa biasa saja. Masih banyak Tasrifin Tasrifin lain yang
tersebar di Nusantara yang menghadapi problema hidup lebih parah dan
lebih duka dari pada Tasrifin yang dibantu oleh Presiden SBY. Tasrifin
Tasrifin ini mengharapkan perhatian kita, perhatian pemerintah dan
perhatian Presiden SBY secara Pribadi. Semoga.
SUMBER