Pengalaman Bertemu dengan Hantu
Melihat tayangan tivi yang senang menampilkan hantu, meski tak bermutu; jadi ingat pengalamanku dengan mahluk yang satu ini. Boleh percaya boleh tidak, terserah Anda saja.
Perkenalanku dengan hantu pertama kali ketika aku masih balita. Ketika masih kecil aku sering nginap di rumah kakekku di desa. Waktu kecil aku agak bandel dan sering rewel. Kalau lagi rewel aku susah banget dikendalikan. Suatu malam aku rewel, sudah diapa-apain tetap saja rewel. Lalu simbah membawaku ke luar rumah yang gelap. Rumah kakekku dibuat dari papan dan bilik bambu. Waktu itu belum ada listrik di desa, lampu hanya pake lampu teplok atau lampu tempel saja.
Maklum di desa, suasana sepi dan banyak suara binatangnya. Kakek menakut-nakuti aku dengan mengatakan:
“Tuh..dengar ada suara rijal….!!!”, kata Simbah.
“Apa itu rijal?” tanyaku dengan perasaan takut dan penasaran.
Kemudian kami diam, Simbah menunjuk pada suara binatang yang terdengar nyaring: “ngreekkk…..ngreekkkk……ngreekkk……”. Suaranya riuh sekali.
“Rijal itu setan yang suka sama anak yang rewel terus”, jelas Simbah.
Aku merasa takut dan lama-lama menjadi tenang. Setelah aku tenang aku di bawa masuk. Sejak itu kalau aku rewel, Simbah selalu menakuti-nakuti aku dengan rijal.
Waktu aku kecil bukan anak yang penakut, tapi juga bukan anak yang sangat pemberani. Wajar-wajar saja. Aku berani berangkat mengaji ke rumah Bu Nyai lewat gang sempit dan gelap. Gang itu lebarnya cuma 1,5 m, di salah satu sisanya tembok setinggi 3 meter dan di sisi lainnya tanaman teh-tehan (tanaman yang biasa digunakan untuk pagar) dengan tinggi 2 meter. Aku juga sering main petak umpet atau ‘patangan’ (semacam permainan perang-perangan dengan sasaran kaki atau kepala lawan untuk dipegang dengan tangan). Aku sering sembunyi di tempat-tempat gelap dan sepi. Sejauh ini aku belum pernah ketemu hantu atau setan. Memang kadang-kadang ada yang menakut-nakuti kami, terutama ketika lewat di tempat-tempat gelap dan katanya angker, lalu ada yang teriak: ” …………Seeeetaaaaaan……!!!!!!!” dan kami pun lari tunggang langgang. Meskipun begitu tak pernah sekalipun kami benar-benar bertemu dengan setan.
Ketika menjelang SMP aku berjualan rokok di warung gerobak kecil di pinggir jalan. Waktu itu masih sepi dan hanya ada warungku saja, sendirian lagi. Kiri kanan jalan masih banyak pohon besar. Ada pohon 4 pohon jati yang besar-besar dan beberapa pohon mahoni/asem, warungku terletak di bawah salah satu pohon jati itu. Karena masih sekolah aku biasa menjaga warung sampai jam 9 malam. Biasanya menjelang jam 9 aku sudah dijemput untuk pulang. Ada dua jalan pulang menuju ke rumah yang jaraknya tidak lebih dari 150 meter. Alternatif pertama lewat jalan raya, jalannya terang dan ramai. Alternatif ke dua , lewat jalan setapak menurun di pinggir kali. Kemudian lewat dam (semacam bendungan kecil) ‘Kali Bening’ yang letaknya tepat di belakang rumahku, lalu naik lewat tangga menuju rumah. Jalan ini gelap dan banyak pohon-pohon dan tanaman perdu lainnya. Jalan setapak ini lebih dekat daripada jalan alternatif pertama. Di dekat DAM ada pohon waru cukup besar dan di bawahnya ada bilik kecil tempat orang buang hajat.
Sebenarnya aku takut lewat jalan itu, karena gelap dan takut ketemu setan. Kata orang dam kali bening itu sangat angker sekali. Suatu ketika aku capek banget dan pingin cepat-cepat pulang ke rumah. Jalan paling cepat adalah lewat jalan setapak itu. Aku nekat ingin lewat jalan itu. Penjemputku bilang, ”Ngak takut…coba kalau berani akan aku beri hadiah”, katanya menantangku.
Aku merasa tertantang dan nekat lewat jalan itu. Aku berjalan pelan-pelan, ketika akan lewat dam hatiku mulai dag-dig-dug. Dari kejauhan aku lihat ada orang yang lagi jongkok di pinggir dam sambil merokok. Biasanya kalau sudah malam orang akan buang hajat langsung di sungai tidak di dalam bilik. Asik… ada teman pikirku….. Ketika semakin dekat bulu kudukku mulai merinding. Orang itu agak aneh, kok besar sekali. Rasanya tidak ada orang yang sebesar itu. Rokoknya besar juga, terlihat dari bara dan bayangan asapnya yang mengepul tebal. Aku tetap memberanikan diri untuk terus berjalan. Ketika jarakku semakin dekat aku tetap tidak bisa mengenali orang itu, padahal aku hampir kenal semua orang di kampung ini. Aku agak ragu-ragu apakah itu orang atau bayangan tumbuhan yang memang banyak tumbuh di sekitar dam. Di bawah pohon waru itu memang suasananya gelap. Rasa takutku menjadi memuncak, tanpa pikir panjang aku berbalik arah dan lari kembali ke warung. Penjemputku heran dan geli melihat aku lari ketakutan. Dia tertawa terbahak-bahak.
Tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi pengalaman dengan hantu sampai aku dewasa. Sampai ketika aku KKN di Pagentan, Banjar negara.
Waktu itu aku nginap di rumah pak camat. Kami ngobrol sampai larut malam dan hanya tinggal aku dan Pak Camat saja di larut malam itu. Lalu Pak Camat menceritakan hal-hal mistis, termasuk pusaka-pusaka yang dia miliki. Dia menunjukkan padaku salah satu pusakanya yang berbentuk keris. Pak Camat mau menunjukkan padaku bahwa keris itu ada isinya.
Cara membukanya seperti ritual khusus. Pertama dia tempelkan gangang keris ke keningnya sambil komat-kamit membaca mantera. Tidak terdengar jelas apa yang diucapkkannya. Lalu denga perlahan dan hati-hati keris mulai ditarik dari sarungnya. Cara mengeluarkannya dengan penuh hormat dan khidmat. Sekali lagi ujung keris di letakkan ke kening. Lalu sarungnya diletakkan di atas meja kaca. Lalu dia menaruh ujung keris di sisi sarungnya. Tegak lurus ke atas. Setelah membenarkan posisi dan menstabilkannya, keris itu mulai di lepas perlahan-lahan. Aneh bin ajaib, keris itu bisa berdiri tegak dengan ujung runcing menempel di atas meja kaca. Aku takjub sekali. Dengan rasa penasaran aku lihat, kalau-kalau ada rekayasa. Dan memang nyata, ngak ada rekayasa sama sekali. Ini salah satu tanda kalau keris ada ‘Isinya’. Dengan wajah yang masih keheranan aku manggut-manggut saja.
Sampai di sini aku belum pernah ketemu dengan hantu-hantu menakutkan seperti yang dilayar kaca.
Pengalaman lainnya adalah ketika di awal pernikahanku. Aku tinggal di Bogor di sebuah rumah kontrakan kecil dengan satu kamar tidur. Aku tinggal di bagian rumah paling ujung, paling belakang dan paling kecil. Dulu rumah ini kolam, lalu ditutup dan dibangun rumah di atasnya. Masih disisakan sebuah sumur yang ditutup atasnya, letaknya persis di emperan rumah kami. Di sebelah kanan rumah masih disisakan sepetak kecil kolam yang masih ada ikannya. Kolamnya cuma berukuran 1,5 x 2 m. Di Bogor hampir setiap hari hujan, dan kalau hujan biasanya listrik di daerah kami mati. Waktu itu hujan cukup deras menjelang magrib. Seperti yang diduga listrik mati. Istriku sedang hamil muda, hamilnya Royan anak pertama kami. Karena hujan dan gelap aku sholat di rumah, apalagi istriku takut di tinggal sendirian dalam kondisi gelap dan hujan begini. Seperti biasa selesai sholat aku dzikir rutin pagi dan sore. Aku baca dengan suara agak keras.
Selesai membaca dzikir, ada yang aneh. Tiba-tiba tercium bau menyengat seperti ada yang kebakar. Istriku teriak, “ada yang kebakar, Bi” katanya. Aku pikir ada yang kongsleting, aku segera ambil senter dan mencari sumber bau itu. Aku cek seluruh ruangan tetapi tidak ada yang kebakar. Sama sekali tidak ada yang kebakar.
Kami mulai agak curiga. Bau itu seperti rambut atau tanduk yang dibakar. Menyengat sekali baunya dan sumbernya dekat sekali. Ini bukan bau biasa. Segera aku ke kamar dan mendatangi istriku. Lalu aku membaca beberapa surat yang aku hafal dengan suara keras. Lama-kelamaan bau itu menghilang.
Kadang-kadang aku mengisi pengajian di salah satu sekolah tinggi pertanian di kotaku. Pengajiannya seminggu sekali dan bertempat di mushola kecil di sekolah itu. Gedung sekolah ini sudah cukup kuno, sepertinya dibangun sejak jaman Belanda atau di awal-awal kemerdekaan negeri ini. Ini terlihat dari kontruksi bangunan dan bentuk kusen jendela dan pintu. Mushola itu letakknya di bagian belakang dan tempatnya agak tinggi. Entah tidak diberi lampu atau memang lampunya mati, jalan menuju mushola itu gelap sekali. Demikian pula di bagian luar mushola, suasana remang-remang karena cuma ada satu lampu 15 watt di luar.
Suatu hari aku mengisi kajian dengan tema surga dan neraka. Seperti biasa peserta yang hadir mendengarkan dengan tenang. Saya perhatikan ada satu anak yang memperhatikan dengan penuh seksama, terlihat dari caranya memadangku dan posisi duduknya. Tiba-tiba anak itu seperti mengantuk dan terjatuh. Teman-temannya segera menolongnya. Saya bertanya, “ Kenapa Dia?”
“Dia agak sakit, Ustad”, jawab salah satu temannya.
Kemudian saya mencoba memeriksanya, anak itu seperti pingsan atau tertidur. Menurut keterangan temannya, memang dia sering begini. Kadang-kadang tiba-tiba jatuh dan tidak sadarkan diri seperti kesurupan.
“Hah…kesurupan, massa….????!!!!!”, sahut saya seraya tidak percaya. Saya belum pernah berhadapan ‘head to head’ dengan jin seperti ini. Tetapi saya coba mengatasi ‘gangguan jin’ ini berdasarkan keterangan dari ustad-ustad yang pernah aku ikuti. Saya duduk di sisi atas kepalanya, kemudian aku mencoba membaca beberapa ayat. Tiba-tiba anak itu mulai meronta tetapi tidak bisa bergerak karena teman-temannya memegangi tangan dan kakinya. Dia meronta semakin keras. Lalu tiba-tiba dia berbicara dengan logat dan suara aneh. Suaranya seperti suara perempuan dan berbicara dengan bahasa jawa. Saya tinggal di tanah Sunda, jadi aneh banget kalau ada jin bicara pakai bahasa Jawa. Untungnya saya orang Jawa, jadi ngerti dan bisa berkomunikasi dengan jin itu.
Sedikit aku berbicara dengan dia, bertanya siapa dia, dan memintanya untuk keluar dari tubuh anak itu. Jin itu mau keluar tetapi dengan minta syarat, yaitu minta minum. Aku tidak mau memenuhi persyaratannya. Lalu dia minta dibacakan surat tertentu karena dia suka aku membacanya. Aku tetap tidak mau dan aku meneruskan dengan membaca ayat dan surat yang lain. Dia terus meronta-rota. Setelah beberapa lama dia mulai lemah dan dia mengancam akan memanggil kakaknya.
Tiba-tiba anak itu mengejang, sampai badannya melengkung. Lalu dia terjatuh dengan keras. Anehnya setelah terjatuh suaranya berubah menjadi seperti suara laki-laki. Suaranya berat dan barguman tidak jelas. Aku tetap membaca ayat-ayat yang aku hafal. Anak itu terus meronta-ronta dan akhirnya tersadar setelah berlangsung kira-kira satu sampai dua jam.
Rupanya kasus ini tidak sekali terjadi. Paling tidak setelah peristiwa itu sudah tiga kali dia mengalami kesurupan ketika mengikuti pengajian yang aku lakukan. Kata teman-temannya, kalau dengan pembicara lain dia biasa-biasa saja. Aku mencoba mendekati anak itu dan mencoba mengorek keterangan tentang awal mulanya dia bisa kesurupan. Kapan-kapan aku ceritakan, insya Allah.
Pengalaman berikutnya ketika aku pindah rumah. Aku pindah ke rumah yang agak besar, tidak jauh dari rumah kontrakanku yang lama. Aku pindah kontrakan karena istriku sedang hamil anak kedua, Ibrahim, dan kami perlu kamar satu lagi. Ibrahim lahir ketika kami tinggal di rumah itu. Suatu hari aku pulang larut malam selesai acara pengujian rutin. Kira-kira jam 1 –an aku sampai rumah. Ketika aku masuk rumah, tiba-tiba Ibrahim yang waktu itu masih berumur beberapa bulan menangis. Umminya berusaha menenangkannya dengan memberinya ASI. Biasanya setelah diberi ASI, Ibrahim menjadi tenang dan tidur kembali. Anehnya, kali ini tidak. Justru menangisnya semakin menjadi-jadi. Segala cara aku coba untuk menenangkannya, tetapi tidak bisa juga. Ada yang sedikit janggal waktu itu. Aku dengar banyak sekali anjing menggonggong di belakang rumah. Kebetulan di belakang rumah kami ada kebon kosong yang dipisahkan dengan tembok batas. Suara anjing itu keras dan dekat sekali.
Aku merasa ada sesuatu yang menganggu Ibrahim. Sesuatu yang tidak biasa. Lalu aku gendong Ibrahim, tapi kali ini aku tidak bernyanyi untuk menenangkannya. Aku membaca beberapa surat Al Qur’an yang aku hafal. Ibrahim berangsur-angsur tenang dan kembali tertidur. Dan suara anjing itu menghilang.
Berikutnya ketika aku pindah ke rumah kontrakan berikutnya. Rumah ini jauh lebih besar dari rumah sebelumnya. Luas rumahnya saja 125 m2 dan lahanya 535 m2. Di belakang rumah itu ada kebun kosong dengan alang-alang setinggi 2 m. Tidak pernah dirawat. Hari pertama kami pindah tidak ada apa-apa.
Waktu itu aku sedang asik-asiknya menulis buku komputer. Aku biasa tidur sampai larut malam. Malam itu istriku bangun dan mengatakan kalau dia mendengar ada suara perempuan menangis di sisi kanan rumah. Aku coba dengarkan. Memang sayup-sayup terdengar suara perempuan menangis. Aku coba perhatikan dengan lebih seksama dari mana asal suara itu. Malam berikutnya terdengar lagi suara itu. Kadang-kadang tidak terdengar, tetapi kadang-kadang terdengar jelas sekali. Kami jadi khawatir kalau terjadi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), karena penasaran aku coba keluar rumah dan mencari sumber suara itu. Suara itu seperti bersumber di salah satu pojok halaman rumah kami sebelah kanan. Ada sisa tonggak pohon jambu biji yang sudah ditebang. Cukup besar ukuran tonggak pohon jambu itu. Di sebelahnya lagi rumah tetangga kami. Aku ragu-ragu, apakah suara itu berasal dari rumah sebelah atau dari sekitar tonggak pohon itu.
Sama sekali tidak ada perasaan apa-apa padaku. Tidak pernah terbesit sama sekali di pikiranku bahwa itu suara hantu atau setan. Waktu aku keluar rumah pun aku keluar dengan tenang. Dan tidak ada sesuatu pun yang berbentuk menyeramkan, seperti hantu atau setan. Aku mencoba mencar informasi ke tetangga, kira-kira suara siapa itu. Tetapi tetangga-tetanggaku tidak ada yang menanggapinya, bahkan jawabannya pun tidak jelas. Suara tangisan itu kadang-kadang terdengar sampai beberapa lama, sampai akhirnya menghilang sendiri. Entah berapa lama, saya juga lupa.
Beberapa bulan atau setahun kemudian ada seorang tetangga yang bercerita kalau tempat itu dulu seram sekali. Terutama di bekas batang pohon jambu di sudut kanan rumah yang ukuranya cukup besar. Dulu sering terdengar ada orang yang menangis, katanya. Nah..lho…..berarti apa dong suara tangisan yang aku dengar setahun yang lalu…..?????
Beberapa tahun kemudian aku pindah rumah lagi. Kali ini di rumah sendiri yang aku kredit. Uang mukanya berasal dari royalty buku-bukuku. Rumahnya memang tidak sebesar rumah sebelumnya. Aku tinggal di sebuah perumahan kecil di pingiran kota bogor. Kecil tetapi nyaman. Beberapa minggu setelah pindah aku mendengar suara perempuan minta tolong. Kali ini bukan malam-malam, tetapi menjelang subuh. Saya biasanya sudah bangun sebelum sholat subuh di masjid. Suaranya sayup-sayup seperti perempuan yang sedang kesakitan dan minta tolong ke ibunya. Aku coba cari dari mana suara itu. Sepertinya dari rumah belakang. Karena penasaran aku mencoba naik tangga dan melihat ke belakang rumah. Nihil, tidak ada apa-apa.
Itu secuil pengalamanku dengan mahluk yang katanya halus. Sangat berbeda dengan yang dilihat di tivi-tivi. Ngak ada hantu pocong atau wewe gombel, apalagi kuntilanak atau apalagi suster ngesot. Tidak ada wajah seram yang menakutkan. Aku percaya bahwa selain manusia, Allah menciptakan juga mahluk lainnya. Mereka melihat kita, tetapi kita tidak melihat mereka.
Setan atau iblis atau jin adalah salah satu mahluk Allah yang harus kita yakini keberadaanya. Allah sendiri menjelaskan kalau setan itu akan selalu mengoda manusia. Mengodanya bukan dengan menakut-nakuti manusia seperti dengan kenampakan berupa pocong, wewe gombel, sundel bolong, gendruwo, kuntilanak, atau kawan-kawannya yang lain. Setan justru mengoda manusia dengan hal-hal yang disenangi biar mereka mau tergoda dengan rayuan setan. Masak merayu dengan wajah seram. Kalau sudah tergoda kita akan melakukan perbuatan-perbuatan setanis, melanggar aturan Tuhan, atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.
Wallahu a’lam.
SUMBER
0 Comments