Kisah Pertama Melihat Pocong
Empat belas tahun yang lalu, saat harga bakwan goreng masih seratus rupiah. Aku sudah berkelana dari kota kecilku menuju kota yang menjadi ibukota Jawa tengah, Semarang. Namanya juga orang udik, eh anak udik (masih18thn=baca imut;red).
Layaknya anak udik yang mau berpetualang ke kota besar, emak membekaliku dengan bermacam-macam peralatan tempur, seperti sepatu kulit harga diskon, celana dalem 10ribu tiga, gelas thermos, tak ketinggalan pula IMF (Ibu memberi fulus). Dan sebuah ritual khusus, tahlil…, mex! *emo melongo*
Emak melepasku dengan sedih, tanpa mengeluarkan airmata, emak sesenggukan sambil menitip pesan ke telingaku; “Le, ngko nak wis tekan Semarang ojo lali ngirim khabar yo. Eling…, kowe bakale ning negorone uwong, ojo dianggep ning latare dewe?” (latar=halaman-jawa;red).
Aku mengangguk pelan, sambil mengusap iler yang mengalir disela bibir, ku cium tangan emak yang habis menggoreng ikan asin. Dua orang saudaraku ikut melepas kepergianku dengan raut muka sedih kehilangan, padahal dalam hatinya riang gembira, karena dengan kepergianku otomatis mereka kehilangan saingan mereka dalam berebut makanan dimeja makan. *emoticon gemes*
Tlogosari, sebuah perumahan yang kala itu sudah cukup rame, namun saat sekarang tahun 2013, menurut kabar burungnya sohibku, Tlogosari sepuluh kali lipat lebih rame dari tahun 1998. Sumpeh lu mex!” (langsung sms sohib)
Di Semarang ini pula aku ikut kursus pelayaran, dengan iming-iming dipekerjakan di kapal pesiar setelah lulus, aku begitu antusias dan optimis bisa mengabulkan cita-cita menjadi pelaut. Dengan program dasar bahasa Inggris serta teori seputar perhotelan dan praktek bagaimana menjadi waitress handal kapal pesiar, aku melalui hari-hariku bersama sohib seperjuangan yang datang dari seantero Jawa tengah.
Aku tinggal dan ngekost disalah satu rumah tingkat dua dipojokkan perumahan Tlogosari. Namanya juga dipojokkan, meski sudah banyak rumah berderet, namun baru beberapa rumah yang dihuni. Aku tinggal bersama empat personil, satu dari Purwokerto city, satu dari Solo berseri, satunya lagi dari New york Karto hadiningrat (Jogja).
Nah, dari ke empat personil boyband sohibku itu, sohib dari Jogjaku ini yang paling unik. Aku bilang unik, karena sohibku dari Jogja ini memiliki kombinasi sifat yang langka, mengaku takut dengan cerita ghaib/hantu, tapi hobi sekali nonton film honor, eh horor sekaligus gemar mendengarkan cerita horor diradio MS radio tiap malam jum’at, suatu kombinasi yang langka. *kagum*
Nama sohib Jogjaku ini Iskandar. Aku lupa nama lengkapnya, yang jelas nama panjangnya Iskandaaaaaaaaaaaaarrrr. Cerita-cerita konyol bin menggemaskan dan membuat bulu ketek serta bulu selangkangan bisa berdiri dimulai, Aku yang tadinya sama sekali gak pernah memikirkan masalah hantu-hantuan, jadi ketularan parno gara-gara tingga se-kost-an dengan Iskandar ini.
Intro dulu ya gan;
Suatu hari…, jrengggg…jrengggg…. auuuuuu…., (diiringi musik film Dracula dan lolongan srigala, biar tegang..), malam itu kebetulan pas malam jum’at kliwon! Jrengggggg…!!!
Seperti biasa, kami berempat yang tidak mempunyai kegiatan lain setelah pulang dari program pelayaran ditempat kursus, ngumpul dikamar Iskandar berempat. Kami sengaja rame-rame mendengarkan acara di MS radio yang berjudul ‘nightmare on the air’. Sebuah acara yang tayang tiap malam jum’at, dan setiap malam jum’at kliwon tiba, acara tersebut makin spesial dengan narasumber paranormal, dan tentunya cerita yang teramat seram.
Jujur, tadinya aku sama sekali nggak terpengaruh tiap kali mendengarkan acara curhat langsung tersebut diradio. Nah, saat ada seorang penelpon yang bercerita tentang pengalamannya melihat penampakan sosok ‘pocong’, barulah aku kerap membayang sosok yang sering digambarkan menyeramkan tersebut.
Rumah kost yang kami tinggali berlantai dua, dilantai bawah ada tiga kamar, satu kamar diruangan belakang dekat dapur, satu ditengah bawah tangga, satunya lagi berdempetan dengan kamar mandi. Adapun lantai dua hanya memiliki dua kamar, satu kamar dipinggir teras atas, sedangkan kamar satunya terletak di sudut ruangan tengah agak dibelakang dengan jendela yang sangat lebar.
Aku menempati kamar sebelah belakang dilantai dua, sedangkan Iskandar menempati kamar pinggir teras lantai dua, sedangkan kedua sohibku lainnya menempati kamar dilantai bawah. Sudah menjadi rutinitas, setiap malam jum’at datang, kami ngumpul berempat dikamar Iskandar.
Saat kang Parno mulai menjangkiti
Momen terkonyol sekaligus menegangkan dimulai, saat asyik mendengarkan MS radio dengan cerita seputar pengalaman ghaib, temanku dari Purwokerto city si Ario sengaja memecah keheningan kami dengan membanting pintu.
Darrrr..!”
Kami semua terlonjak kaget sambil memaki panjang pendek.
“Eh, gw mau ke kamar mandi, ada yang mau ngikut nggak?”, celoteh si Ario mulai keluar soknya, padahal dia mencari teman untuk ke kamar mandi. Iskandarpun menyambut ajakan Ario, mereka berdua ke kamar mandi bareng-bareng. Tinggal aku dan sohibku dari Solo si Iwan dikamar.
Saat itulah, terdengar suara gedebak-gedebuk diruangan tengah lantai dua, aku yang merasa bising mendengarnya keluar untuk menegur Ario dan Iskandar, karena aku mengira mereka berdua sengaja bikin gaduh diruang tengah. Ketika aku keluar kamar, diruangan tengah lantai atas nggak ada siapa-siapa, aku menuju kamar mandi untuk mencari keduanya, ternyata dikamar mandi atas tidak ada siapa-siapa, kosong!
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, tanpa menunggu perintah dari presiden republik ini, aku langsung bergegas kembali masuk ke kamar. Aku menceritakannya ke Iwan, saat itulah Iskandar dan Ario datang dari kamar mandi, langsung ku tanyai keduanya.
“Eh, kalian berdua kemana? Kok gak ada dikamar mandi?”
“Kami berdua kencing dikamar mandi bawah Rab, soalnya keran dikamar mandi atas rusak”", jawab Iskandar sambil benerin resletingnya yang sepertinya macet.
Nah lo…, aku membathin sendiri. Jadi, siapa tadi yang bergedebak-gedebuk ria diruangan tengah?
Selang beberapa hari sejak kejadian tersebut, aku selalu merasa parno jika sendirian tinggal didalam rumah kost yang cukup spooky itu. Apalagi saat itu mulai masuk musim kawin hujan, makin menambah suasana seram rumah kost tersebut, ditambah lingkungan yang sepi karena baru beberapa unit rumah saja yang berpenghuni. *gigit jari*
Siang itu, gerimis melanda kawasan perumahan Tlogosari dan sekitarnya, kebetulan hari itu hari sabtu, gak ada kelas. Kami berempat seharian dirumah, karena gerimis bertahan sampe sore hari, jadi ototmatis acara malem mingguan tidak bisa dimulai dari sore. Selepas maghrib, gerimis reda, kamipun sibuk dengan acara malam mingguan kami masing-masing. Ario yang berpacaran dengan penjaga wartel langsung take off ke TKP (Tempat Kediaman Pacar), sedangkan Iwan mudik ke Solo dalam rangka kangen dan hari senin sudah berencana balik lagi ke Semarang.
Iskandar dan aku yang sama-sama zombi (zomblo abadi), memilih jalan-jalan saja ke simpang lima. Sebagai penggemar minuman teh poci dan sesekali godain ciblek si pelayan uhuy, kami juga suka menghabiskan waktu dengan mengagumi keramaian kota Semarang dimalam hari. Maklum anak udik. *emoticon memelas*
Saat itu handphone belum merakyat, baru kalangan orang berduit saja yang memilikinya. Sebagai kaum ploretariat sejati, aku dan Iskandar berkomunikasi jarak jauh dengan Ario menggunakan telepati (yang ini ngaco). Skip this!
Mulai membicarakan si pocong
Entah ada hasutan darimana, Iskandar tiba-tiba membicarakan sosok pocong. Dia bercerita bahwa didaerah asalnya Jogja, sosok pocong itu menjadi momok yang cukup eksis menampakkan diri dikampungnya. Aku yang sama sekali belum pernah menyaksikan live show pocongpun jadi takut-takut penasaran mendengarnya. Dengan gagah berani, aku mengajukan pertanyaan seputar sosok pocong the terror ini pada Iskandar.
“Kamu pernah dikasih lihat penampakan tuh pocong Is?”, tanyaku sambil menyeruput teh poci panas dicangkir tanah liat.
“Belum sih. Rab, jangan sampe deh ketemu sama tuh pocong. Meski pocong ini termasuk hantu ceria, tapi sosoknya menyeramkan lho?”
“Maksudnya ceria yang bagaimana Is? Ketawa kayak kuntilanak dalam filem gitu yah?”, tanyaku sok polos, padahal emang lugu.
“Ya kata orang-orang sih pocong itu jalannya loncat-loncat, kalo anak kecil lagi seneng khan suka loncat-loncat Rab, wakakakak…”, saat tertawa beberapa gigi Iskandar nampak memancarkan cahaya warna-warni.
“Jangan ngetawain Is, ntar dikasih liat beneran pingsan lu!”
“Udah jam setengah satu nih, pulang yuk? Kasihan si Ario sendirian dirumah”, sambung Iskandar mengalihkan isyu.
Selesai membayar teh poci dan sedikit colak-colek ke pelayan warung lesehan yang lumayan bohay, kami berdua bergegas pulang ke rumah kost dengan mengendarai taxi, walau jelas ongkosnya patungan, yang penting kelihatan naik taxiiii aja… *jangan ngeledek yak?*
Jam satu lebih kami sampe didaerah Tlogosari, berhubung kami lapar, kami sengaja turun di depan mini market Sarinah ditengah perumahan. Di sepanjang jalan banyak bertebaran penjual sego kucing (nasi kucing, jajanan khas dari Sragen diatas gerobak). Sekaligus membawakan oleh-oleh jajanan buat si Ario. *sok baik*
Jarak antara rumah kost yang kami tinggali dengan pusat keramaian di Tlogosari sekitar 500 meter tapi gak persegi. Dalam perjalanan menuju rumah kost, aku dan Iskandar tidak banyak bicara, mungkin dalam benak Iskandar juga sama denganku, masih teringat cerita pocong. Apalagi jalanan menuju rumah kost sangat sepi, kami harus melewati sebuah kebon kosong dengan semak belukar yang rimbun, belum lagi deretan rumah berlantai dua yang belum jadi, plus cuaca dingin setelah seharian gerimis melanda daerah itu.
Intro dulu ya gan…
Jrenggg…, jrenggg… (Diiringi soundtrack film The Godfather yang mendayu-dayu, menambah ketegangan isi celana).
Saat berjalan dengan langkah gontai, tiba-tiba Iskandar berbisik mesra ditelinganku, “Rab, elu merinding gak? Rasan-rasan kayak ada yang mengikuti kita deh dibelakang?”
Aku yang tadinya asyik merokok, jadi terhenyak mendengarnya. Dengan reflek secepat larinya si Flash, ku toleh ke belakang, dan….., kosoooong, sepi…, gelap gulita!
“Ah elu Is, nggak ada siapa-siapa kok. Bikin parno aja lu”, dampratku kesal dengan bibir gemetaran sampe-sampe tanpa sadar aku membaca ayat kursii.
Kira-kira 100-an meter mendekati rumah kost, mataku yang bening dan indah tanpa sengaja menatap lurus ke arah teras rumah kosong tepat disamping rumah tempat kami nge-kost. Samar-samar aku melihat sosok berwarna putih seperti tengah duduk bersedekap diatas pagar kecil teras rumah kosong tersebut. Ku usap mataku berulang kali, namun sosok tersebut masih saja nampak dan terlihat makin jelas, dengan posisi membelakangi jalan.
Lututku bergetar, kakiku seperti dipantek ke tanah. Aku menghentikan langkahku ketika jarak kami sudah sekitar 50 meter, sambil menunjuk sosok putih tersebut, aku berkata dengan suara tergagap…
“Is..Is…, el..eluuu lihat gak tuuhhh…, apaan tuh put..put..putih di teras rumah sebelah rumah kost kitaaa…?”, belum selesai aku bicara, Iskandar menyahutiku, “iya Rabbbb…, gua udah lihat dari tadiii…, pocoooooooooooongggg..!!!”
Kami berdua serempak melarikan diri, bukannya balik ke arah kami datang, tapi kami justru berlari menuju rumah kost kami yang otomatis melewati rumah kosong dimana sosok putih yang disinyalir sebagai penampakan pocong itu tenang di tempatnya nongkrong.
Kami menggedor-gedor pintu depan sekuat tenaga sambil berteriak layaknya orang ketakutan dalam film-film horor Indonesia. Aku yang memegang salah satu anak kunci rumah langsung membuka pintu dan kamipun masuk dan segera menuju kamar dilantai atas, tepatnya ke kamar Iskandar. Sesampainya didalam rumah, kami memanggil-manggil Ario, tak ada sahutan. Rupanya si Ario belum pulang dari acara kencan malam mingguannya. Malam itu, kamipun sepakat tidur sekamar. Andai saja si Iskandar itu Sandra Dewi, sudah pasti aku ajak tidur seranjang dan pasti ku lindungi dari rasa takut. Wakakakaka…
Esok paginya, sekitar jam sembilan pagi, ada orang mengetuk-ngetuk pintu depan. Aku yang baru bangun tidur langsung turun ke bawah dan membukakannya, ternyata yang datang si Ario. Aku yang heran bertanya sama Ario;
“Elu tidur nginep dirumah pacar lu ya Yok?”
“Enggak”, jawab Ario kalem
“Bukannya elu bawa kunci rumah satunya?”
“Iya, tapi gua gak pulang ke rumah”
“Emang kenapa?”, tanyaku menyelidik bak seorang Bareskrim
“Gua semalem ngelihat hantu pocong Rab, dirumah sebelah. Karena parno, gua kabur aja ke kampung seberang jalan, gua ketakutan dan nginep dirumah pak RT”
“Lha, kok bisa sama, semalam gua sama si Iskandar lihat ntu pocong nongkrong diteras rumah sebelah. Emang semalem elu pulang jam berapa Yok?”
“Gua pulang jam 12 malem, saat gua mau masuk rumah, gua mendengar seperti ada benda jatuh keras sekali di rumah sebelah. Karena penasaran, gua cari tuh asal suara tadi, ternyata hantu pocong duduk diteras depan rumah sebelah Rab, ngeri gua..hiiii”
“Terus lu langsung kabur?”
“Iyalah, gua mending ngacir daripada pingsan berdiri, gua langsung kabur ke kampng di sebrang jalan. Gua gedor-gedor rumah pak RT, mungkin kasihan, pak RT nyuruh gua tidur di rumahnya”, tambah Ario
Saat kami sedang berbincang cukup tegang itu, tiba-tiba Iskandar datang dari lantai atas dan langsung menghampiri aku dan Ario yang masih berdiri di depan pintu.
“Ada apa Is? Kayak orang dikejar setan lu?”, tanya Ario kepada Iskandar
“Elu bangun jam berapa Rab?”, tanya Iskandar membingungkanku
“Gua bangun sekitar lima menit yang lalu, itupun karena mendengar pintu depan di ketuk orang, yang ternyata si Ario”, jawabku masih bingung. “Kenapa emangnya Is?”
“Lha, yang yang tidur diruang tengah lantai atas itu siapa?”, sambung Iskandar dengan wajah pucat pasi
“Si Iwan kali!”, jawab Ario
“Si Iwan khan pulang ke Solo Yok, lagian dia nggak megang kunci rumah, cuma gua sama elu?!”
Kami bertigapun saling pandang, lalu kepala kami bertiga serentak mendongak ke lantai atas dan…
“Tidaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkk…!!!”
Tamat…
SUMBER
0 Comments