Acara Orang-Orang Pinggiran
(OOP) ditayangkan oleh Trans 7 setiap hari sejak pukul 17.30 – 18.00
WIB. Sebenarnya saya bukanlah penggemar acara ini, bahkan di rumah, channel Trans
7 boleh dibilang tak pernah saya pencet. Acara OOP yang pertama kali
saya tonton, Selasa, 6 Maret 2012, itu pun karena sejak siang hari saya
lihat cuplikan iklannya di TV kantor, saya jadi penasaran. Kisah Siti,
bocah yatim yang dikatakan sebagai “penjual Bakso” itu memang sangat
mengharukan dan mengetuk hati nurani siapapun. Sampai-sampai esok
paginya, kurang dari 18 jam sejak ditayangkan Trans7, saya menuliskannya
di SINI.
Tak dinyana, tulisan itu
direspon banyak pihak bahkan di-copas ke Kaskus. Siang itu juga saya
kebanjiran inbox di Kompasiana, yang meminta saya memberikan nomor
rekening, agar mereka bisa ikut menyumbang dan menitipkan dananya untuk
saya sampaikan kepada Siti. Saya dibantu Rumah Zakat bergerak cepat,
hari Jumat, 9 Maret 2012, Rumah Zakat Kota Cilegon mengutus 2 orang
untuk melakukan survey ke rumah Siti. Mereka adalah Pak Zainuddin –
bagian Pendidikan – dan Ahmad Mu’tasim. Mereka berdua tiba di rumah Siti
dalam tempo 3×24 jam sejak acara itu tayang di Trans 7, sehingga
menjadi orang pertama yang berkunjung ke rumah Siti. Maka tak heran jika
apa yang mereka jumpai relatif sama dengan apa yang ditayangkan di
Trans 7. Baju yang dikenakan Siti dan Ibunya pun tidak ganti.
Kedua surveyor itu
menginap di rumah Pak Lurah, dari sanalah didapat info bahwa apa yang
diberitakan Trans 7 tentang Siti itu ada fakta yang dilebih-lebihkan.
Misalnya Siti yang tak menemui makanan secuil pun sepulang sekolah dan
harus menahan lapar hingga petang hari menunggu emaknya pulang, itu sama
sekali tidak benar. Katanya, Pak Lurah sudah mengajukan keberatan
kepada pihak Trans 7, namun dijawab oleh stasiun TV itu : “ah itu biasa, Pak, itu kanbumbunya”. Rupanya pihak stasiun TV merasa sah-sah saja memberitakan hal yang tak sesuai fakta, asalkan misinya membuat penonton merasa iba tercapai.
Rasanya tak perlu saya tuliskan
ulang, survey hari Jumat dan Sabtu itu langsung ditindaklanjuti dengan
kunjungan ke rumah Siti esok harinya, Minggu, 11 Maret 2012, untuk
menyerahkan bantuan pembaca Kompasiana. Ketika kami tiba di rumah Siti
telah keduluan tamu-tamu lainnya yang datang lebih awal dari kami. Dan
sejak itu sebenarnya saya sudah mendapati ada hal-hal yang mengganjal
dan kurang wajar. Saya rasa tidak perlu saya ulas lagi, karena reportase hasil kunjungan ke rumah Siti bagian 1 – 4 sudah saya tulis esok harinya di Kompasiana.
Akhirnya, kecurigaan itu saya
tindaklanjuti dengan sedikit investigasi kecil-kecilan, bersama
koordinator penggalangan dana untuk Siti dari kelompok Kaskus. Hasil
investigasi itu kemudian saya tulisan di sini bagian 1 dan bagian 2.
Ada kecurigaan bahwa pihak yang oleh Trans 7 dijadikan Contact Person
(CP), ternyata tidak transparan dan mungkin pula tidak jujur dalam
meneruskan dana bantuan dari pemirsa yang dikirim melalui rekening
miliknya. Apalagi setiap dihubungi Pak Tono itu menyebut ibunya Siti tak
memiliki KTP sehingga semua paket kiriman tak akan bisa diambil, itu
sebabnya paket-paket harus dialamatkan melalui dirinya. Terbukti
kemudian bahwa Ibunya Siti punya KK dan KTP.
Karenanya, kami kemudian
mengubah rencana penyaluran bantuan untuk memberikan kemanfaatan yang
lebih besar kepada masyarakat sekitar kampung Siti pada 14 dan 15 April
2012, reportasenya saya tuliskan di sini
mulai bagian 1 – 3. Pada tulisan itu pun saya ceritakan kondisi Siti
dan Ibunya yang kini sudah cukup makmur bahkan berlebih untuk ukuran
orang di kampungnya. Pada kesempatan itu pula, saya mencoba menggali
info sebanyak-banyaknya tentang “misteri” seputar bagaimana sebenarnya
kehidupan Siti sebelum dan sesudah ditayangkan.
Dari para tetangga dan Pak
Lurah, kami mendapat cerita bahwa sebenarnya Siti tidaklah benar-benar
berjualan bakso sebagaimana ditayangkan Trans 7. Dia hanya membantu
berjualan. Pemilik dagangan bakso adalah istri dari guru mengaji Siti.
Sehari-hari Siti mengaji pada tetangganya itu, kemudian dilanjutkan
belajar pelajaran sekolahnya dengan bimbingan anak dari guru mengajinya.
Karena kesehariannya anak dari guru mengaji ini membantu ibunya
berjualan bakso, terkadang Siti yang sudah sangat akrab dengan anak guru
mengajinya ini, ikut membantu berjualan. Jadi upah yang didapat Siti
adalah pemberian karena dia membantu berjualan.
Kemarahan warga sempat tertumpah
pada Pak Tono yang menjadi CP dari Trans 7, karena disinyalir orang
inilah yang “menjual” kisah Siti, atas suruhan kakak kandung Siti yang
tinggal sekampung dengan Pak Tono. Kesehariannya, menurut keterangan
tetangga, kakak kandung Siti ini teramat jarang datang bahkan terkadang
diminta datang pun banyak alasan, berdalih tak ada ongkos dan
sebagainya. Dalam tulisan saya yang saya sebelumnya, sudah saya
ceritakan “peran” kakak Siti yang mengalihkan semua dana bantuan
dermawan ke rekening pribadinya. Bahkan belakangan, kabarnya Pak Tono
ini tak berani lagi datang ke kampung Siti sejak ditegur keras oleh Pak
Lurah karena dianggap tak punya etika ketika “mengambil” Siti dalam
rangka pemberian bantuan dari Polda Serang (Banten).
Bahkan 2 hari yang lalu, saya
mendapat kabar dari Pak Zainuddin, bahwa Rumah Zakat mendapat telepon
dari sebuah organisasi yang ingin mengecek realisasi bantuannya, tapi
mereka kini tak bisa lagi menghubungi Pak Tono. Berkali-kali nomor HPnya
dihubungi tapi tak pernah tersambung. Masih ada kabar lain lagi yang
sangat kurang sedap, namun karena masih membutuhkan konfirmasi lebih
lanjut, tak akan saya tulis di sini.
OOP, TAYANGAN LANGSUNG ATAU “REALITY SHOW”?
Menurut info dari keluarga Siti,
shooting acara OOP itu memakan waktu 2 hari. Adapun menurut keterangan
Bu Lurah, pemilik kebun kangkung tempat Siti meminta kangkung itu tak
lain adalah Kakak tiri Siti (saudara se-ayah lain ibu). Pertanyaan saya :
apakah ini tayangan yang langsung diambil dari kejadian normal
sehari-hari, ataukah reality show dimana ada pembagian peran dari para
pemainnya? Kalau liputan langsung, kenapa harus sampai 2 hari?
Trans 7 membuka akun Facebook untuk acara OOP, dimana pemirsa bisa berkomunikasi dan disitus itu pun disebutkan siapa contact person
yang bisa dihubungi untuk tiap episode, Jika pemirsa berniat
mengirimkan bantuan. Masalahnya, sudahkah penanggungjawab acara itu
mengenali integritas pribadi dan kredibilitas orang-orang yang mereka
tunjuk menjadi Contact Person (CP)? Sebab CP yang bernama Pak Tono itu,
sebelum episode Siti, katanya sudah 3x menayangkan kisah anak lain.
Bahkan setelah Siti, ada lagi anak lain yang oleh Pak Tono diorbitkan
melalui acara OOP Trans 7. Bukankah dengan begitu peran CP ibarat “agen” yang mencari obyek penderita untuk diekspose dalam tayangan TV yang tentu saja mendulang iklan karena ratingnya tinggi?
Memang acara ini sangat efektif untuk menguras
airmata penonton, mendulang simpati dan belas kasihan, serta…, tentu
saja ampuh untuk menggalang dana! Beberapa waktu lalu, saya di sms
relawan Rumah Zakat, kabarnya Siti masuk dalam tayangan Insert di Trans
TV (grup dari Trans 7). Padahal, setahu saya acara Insert itu sejenis
infotainment yang memberitakan kisah para selebritis. Seorang
Kompasianer meng-inbox saya, mengutarakan kekhawatirannya, jangan-jangan
ada pihak tertentu yang ingin kembali mendulang dana dengan melakukan
ekspose ulang atas kisah Siti, karena akhir-akhir ini kunjungan dermawan
ke rumah Siti di akhir pekan sudah mulai berkurang bahkan nyaris tak
ada.
Karenanya saya jadi bertanya
soal kemurnian dan akurasi acara semacam itu. Kemurniannya adalah
menyangkut : apakah benar acara itu tidak ditunggangi kepentingan
mencari keuntungan oleh pihak tertentu yang bisa menyelewengkan dana
bantuan? Apakah stasiun TV bertanggungjawab terhadap kejujuran para CP?
Sedang akurasinya : sudahkah stasiun TV menayangkan berita apa adanya,
tidak dilebih-lebihkan dengan tujuan untuk menimbulkan efek mengenaskan
sehingga belas kasihan penonton lebih besar lagi dan tentu saja
dampaknya dana yang terkumpul lebih besar lagi?
Jika stasiun TV memang berniat
membantu, kenapa penggalangan dana tidak langsung dilakukan oleh stasiun
TV, dengan membuka “dompet kemanusiaan” secara permanen, dana yang
terkumpul kemudian disalurkan kepada semua “obyek” tayangan, tidak harus
dalam bentuk bantuan tunai, tapi terlebih pada bantuan fasilitas yang
memberdayakan. Seperti konsep acara Kick Andy, misalnya. Dengan begitu,
penyelewengan dana bantuan oleh oknum akan bisa diminimalisir.
Yang juga menimbulkan
pertanyaan, acara OOP itu sudah tayang beberapa ratus episode, kenapa
hanya episode Siti Penjual Bakso saja yang laris manis ditayang ulang
oleh stasiun TV lainnya, semacam Reportase Trans TV, Liputan 6 SCTV,
Insert Trans TV, Indosiar dan TV One? Warga kampung Siti sangat
keberatan dengan tayangan tentang Siti yang diekspose Indosiar, yang
menurut mereka sangat provokatif dan menjelek-jelekkan warga setempat,
bahkan memvonis tetangganya mengeksploitasi Siti.
Selayaknya pihak stasiun
TV bertanggung jawab terhadap acara semacam ini dan punya tanggung jawab
moral, bukan sebatas menjadikan orang miskin sebagai obyek tayangan,
melebih-lebihkan pemberitaan di luar fakta, sementara memberikan peluang
bagi pihak lain untuk mencari keuntungan dari pengumpulan dana
simpatipemirsa. Pengalaman kasus Siti ini bisa menjadikan penyumbang
jera dan bisa jadi tayangan selanjutnya dari OOP dianggap lebay dan tak
lagi dipercaya. Kalau sudah begini, yang dirugikan justru obyek
tayangan, yaitu si orang miskin, karena tak ada lagi yang mau membantu.
Semoga stasiun TV sadar, bahwa misi mereka menayangkan acara semacam itu
bukan semata komersiil, tapi terlebih lagi adalah kemanusiaan.
sumber : http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/05/05/mempertanyakan-kemurnian-dan-kejujuran-acara-orang-orang-pinggiran-di-trans7/