HUTAN
di Indonesia sudah tak lagi perawan atau utuh. Saya sebagai manusia
adalah kambing hitam yang pantas dalam permasalahan kerusakan hutan ini.
Meskipun saya bukan penebang liar atau pendaki yang mencomotbaby-plant ketika
ber-hiking ria sambil mengatakan ‘betapa lucu tanaman ini, betapa
indah’, tapi saya seperti perwakilan dari mereka, umat manusia. Dan
ketika saya takjub pada skenario animasi Wall-E yang dibuat Pixar Animation Studios
mengenai
perpindahan manusia ke planet lain karena bumi tak lagi layak huni,
bukan tak mungkin dunia kelak akan mengalami bencana besar. Itu pun jika
para ilmuan berhasil menemukan cara mendarat di planet asing yang cocok
ditempati bagai mengekspansi Planet Pandora dalam film Avatar.
Betapa setelah sesuatu kita gunakan dan mewujud sampah, orang-orang akan
mencari area lain untuk memulai awal baru –meski mungkin akan
melakukan kesalahan yang sama: merusaknya kembali.
Keberadaan
hutan memiliki kontribusi sangat penting dalam kelangsungan makhluk
hidup. Hutan adalah rumah bagi hewan, akar pepohonannya menyerap air
hujan dan mencegah longsor pula banjir, tanpa hutan tanpa pula udara
segar yang terhirup, tanpa hutan tak ada pula sejenis kayu untuk tempat
tinggal manusia. Namun ketika penggunaan hutan dinilai kebablasan,
ditambah dengan pihak tak bertanggung jawab yang turut serta dalam hal
perusakan, maka terjadilah apa yang orang-orang katakan dengan global
warming. Frase yang begitu familiar dan sempat menjadi isu hangat dalam
berbagai media cetak juga televisi. Dan tahukah, meski frase (global warming)
itu akan sangat keren dilafalkan dengan aksen Inggris sebagaimana
sebuah model iklan pewangi menyebut kata parfum dengan parvium, efek
yang ditimbulkannya konon beresiko menyebabkan kepunahan.
Akhirnya
sebut saja dengan pemanasan global yang bisa didefinisikan sebagai
peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi akibat naiknya intensitas efek
rumah kaca (penyerapan sinar panas atau infra merah dari bumi oleh
atmosfer).
Ini
menyebabkan bumi tak memiliki penyaring karbon dioksida yang merupakan
hasil pembakaran dari batu bara, kayu atau bahan bakar minyak. Dan salah
satu dampak dari gejala alam ini adalah kebakaran hutan. Di Tanah Air,
korban bergelimpangan akibat longsor dan banjir akibat kerusakan hutan.
Menurut World Reseach Institute, sebuah lembaga riset di Amerika
Serikat, dari 130 juta hektar tutupan hutan di Indonesia, 72 persennya
telah hilang. Dan menurut WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia)
kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Itu
berarti 7,2 hektar rusak setiap satu menit (Tempo Interaktif, Mei 2004)
dan menimbulkan korban jiwa, pengungsian warga, juga pendegradasian
kondisi lingkungan. Selain kualitas air menjadi tercemar sehingga tak
layak minum, penyakit infeksi saluran pernapasan dan batuk adalah
akibat lain dari berbahayanya asap kebakaran.
Faktor
human error menjadi faktor utama penyebab kebakaran hutan, baik karena
kelalaian maupun kesengajaan. Pembakaran vegetasi (tetumbuhan) kadang
dilakukan untuk mendapatkan lahan pertanian, kebakaran karena
ketidaksengajaan kadang terjadi saat berkemah dengan membuat api untuk
memasak atau membuang puntung rokok, di beberapa daerah, api digunakan
masyarakat lokal untuk memeroleh hak-hak mereka atas lahan. Belum lagi
dengan penebangan liar yang dilakukan warga sebagai mata pencaharian.
Tak
hanya itu, demi kepentingan ekonomi sumber daya alam ini digunakan
negara untuk mendapatkan produk ekspor semacam kayu, bahan tambang dan
hasil hutan lainnya. Ini perlu dimaklum mengingat dunia industri di
tanah air belum mencapai perkembangan optimal. Demi bersaing di kancah
global dan berkubang dalam keterhimpitan hutang luar negeri, Indonesia
terpaksa mengeksplorasi hutan untuk mendapatkan devisa ekspor. Maka
redamlah wacana mengenai pentingnya melestarikan lingkungan pada
masyarakat. Bukankah mengakselerasi pelunasan hutang lebih urgen
ketimbang memikirkan nikmatnya menjaga hubungan ekologi? Jadi tak begitu
heran saat Indonesia menjadi pengekspor terbesar kayu lapis (plywood)
di pasar dunia.
Suatu
ketika saya tahu bahwa betapa pentingnya menggunakan kertas HVS bekas
di halaman yang kosong untuk sekedar mengeprint karya tulis. Itu artinya
saya menjadi orang yang menentang aktivitas illegal loging (penebangan
hutan secara liar). Sama halnya ketika saya tidak melulu menggunakan
sepeda motor kemana-mana demi merepresi fenomena kemacetan di Jakarta
dan pencemaran udara dari asap knalpot.
Sama
pula dengan saat saya membuang sampah tak sembarangan meski di berbagai
tempat publik tak disediakan tempat sampah organik dan anorganik. Dan
jika hanya saya menjadi satu-satunya yang melakukan, apalah artinya?
Apakah seperti kesia-siaan? Maksud saya, warga sipil di pedalaman tidak
akan menebang pohon jika taraf hidup mereka baik. Illegal loging tak
akan lagi terjadi jika pemerintah tegas dalam menghukum para pelaku
kejahatan sejenis itu. Betapa perlu menjaga koordinasi antara
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan agar kasus serupa dapat terungkap
sehingga pelaku dibalik pembabatan hutan itu diselkan. Mengingat
penegakan hukum lebih sering dialamatkan pada pelaku upahan atau
suruhan, sosok-sosok yang memang tak bertanggung jawab pada penggundulan
hutan, orang-orang kecil yang melakukan aktivitas yang mereka sebut
sebagai pekerjaan.
Sementara
itu organisasi sosial nonprofit atau komunitas pecinta alam di
kampus-kampus yang bereaksi atas pengelolaan sumber daya alam yang
diluar kendali, memasyarakatkan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Seperti satu di antara seribu mereka giat mengampanyekan
gerakan lingkungan hidup di tengah sorak sorai media dan perhatian
masyarakat terhadap kasus korupsi yang kian menyengat tercium atau kasus
memalukan video mesum mirip artis. Aksi sosial tersebut sebenarnya
rentan dianggap angin lalu oleh kebanyakan masyarakat. Agak susah ketika
sesuatu sudah membudaya dalam diri masing-masing personal.
Ketika gema
anti pemanasan global dan aksi lingkungan hidup beraung tak hanya
kesadaran pribadi yang perlu ditingkatkan, melainkan peran serta
pemerintah. Memang klasik, tapi isu pelestarian lingkungan hidup yang
selama ini berada di bawah titik marginal perlu ditekankan agar tak lagi
menjadi sampel, melainkan hal yang wajib dilakukan. Dan bahwa
kebersihan akan mempertinggi martabat bangsa, mendatangkan lebih banyak
turis mancanegara karena tempat pariwasata yang mengilap dan lestari,
dan kesejahteraan sosial yang merata selama merujuk pada
perundang-undangan yang jelas dan tidak timpang. Beruntung pemerintah
berencana menjadikan gerakan lingkungan hidup dalam rencana aksi
nasional kesehatan dan lingkungan Tahun 2010-2015 meski masih dalam
tahap penyusunan. Bukan tak mungkin setiap warga sipil akan taat
lingkungan setelah gerakan nasional itu benar-benar lahir.
Dan
apa yang akan saya lakukan selama menunggu? Mungkin kalau saya
selebritis saya akan meniru aksi peduli lingkungan yang dilakukan
Leonardio Dicaprio, aktor Revolutionary Road, aktivis lingkungan
Natural Resources Defense Council (NRDC) dan pendiri Leonardo DiCaprio
Foundation. Aksi ini membuat Presiden Obama berniat menjadikan
negaranya sebagai negara bersih. Dalam kampanye This is Our Moment yang
juga diselenggarakan NRDC, Dicaprio juga mendorong pemerintahan Amerika
untuk membahas aturan mengenai penyelamatan lingkungan dan perubahan
iklim. Namun saya bukan artis. Saya hanya rakyat sipil biasa yang
menjadi mengurbankan diri demi sebuah tayangan empat jam dengan bejibun
iklan. Membuat artis-artis dan pemilik tayangan itu kaya. Membuat saya
kelimpungan sendiri jika kelak pemanasan global itu terjadi, yang saya
pakai untuk mengusir rasa gerah adalah hihid (kipas sate), dan tidak
ber-AC ria atau berendam di bath tub penuh es balok.
Lalu
apa yang akan saya lakukan selanjutnya? Apakah hanya akan terpekur
sendiri ketika pada suatu masa lapisan es di Kutub Utara dan Selatan
benar-benar mencair sehingga peningkatan permukaan air laut membuat
kepulauan Jepang, Filipina, Karibia atau Fiji tenggelam? Atau memikirkan
cara-cara penyelamatan lingkungan yang menurut saya efektif dari hanya
sekedar satu orang yang tertib membuang sampah di tempatnya. Sungguh
saya tak punya ide. Tapi saya setuju dengan perevisian Undang-Undang
Kehutanan karena sempat dinilai gagal karena tak mampu mengusaikan
konflik di tengah masyarakat mengenai pengelolaan hutan. Ini karena
tidak diakuinya hukum adat dalam UU Kehutanan tersebut.
Selain
itu, moratorium logging yakni perhentian sementara penebangan hutan
demi merestorasi kawasan hutan, perlu dilakukan. Cara ini terbilang
cukup efektif dalam menyelesaikan persoalan kehutanan, mulai dari
penebangan liar sampai persoalan perekonomian rakyat setempat. Penjedaan
ini harus dilakukan secara terstruktur dan bergilir agar salah satu
hutan masih bia digunakan sebagai bahan insustrialiasasi. Sementara
hutan lainnya wajib dilindungi dan tak lagi mampu terjamah oknum yang
tak bertanggung jawab. Namun yang lebih penting dari kesemuanhya itu
adalah menyalitas dari dalam pribadi masing-masing. Demi sebuah tujuan
komunal adalah penting untuk menyatukan visi misi demi kesejahteraan
khalayak ramai.