Bahasa ‘Alay’: Diresahkan atau Dirayakan?
SEORANG teman mengeluh soal bagaimana “anak sekarang” berkomunikasi. Mereka kerap menggunakan kata, frasa atau terminologi yang asing bagi orang yang terbiasa membaca atau menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Hal yang lebih parah, dalam ragam bahasa tulis, anak-anak “baru gede” itu hampir selalu menggunakan campuran huruf dengan angka, lalu mencampuradukkan huruf kapital dengan huruf kecil dalam satu kata, seperti “aP4 k4Bar? bA1k2 s4ja kH4n?”
Saya, sebagai seorang editor, yang sehari-hari berkutat dengan urusan bahasa, awalnya juga merasa geram. Kegeraman saya sempat berlanjut menjadi kekhawatiran, apakah bahasa Indonesia yang baik dan benar akan punah seandainya tidak ada orang atau pihak yang mengingatkan anak-anak ini?
Akan tetapi, setelah berpikir secara jernih, saya bisa mengerem keresahan itu. Utamanya jika kita coba menengok sedikit ke belakang, melihat definisi hakiki bahasa serta perjalanan sejarahnya (setidaknya di Indonesia).
Bahasa adalah alat komunikasi yang bersifat arbitrer (manasuka). Ada dua kata kunci dari definisi tersebut: alat komunikasi dan arbitrer. Sebagai alat komunikasi, prinsip utama bahasa adalah bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi (komunikan). Artinya, bagaimanapun caranya, selama pihak-pihak yang berkomunikasi dapat memahami pesan masing-masing, alat komunikasi tersebut telah menjalani tugasnya dengan baik. Inilah yang akhirnya membuat bahasa memiliki sifat arbitrer.
Komunikan sebetulnya bebas untuk memutuskan bahasa apa yang mereka gunakan dan terminologi apa yang mereka sepakati dalam berkomunikasi. Itulah sebabnya kita sering mendengar istilah-istilah yang “asing” bagi kebanyakan orang tetapi begitu familiar bagi anggota komunitas atau profesi tertentu seperti di kepolisian, pengacara, atau wartawan.
Ini tentu berbeda jenisnya dengan istilah ilmiah yang terkait dengan suatu entitas, tetapi lebih merupakan kesepakatan untuk menggunakan istilah yang mewakili makna tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu.
Kesepakatan yang serupa itulah yang sebenarnya sedang dipraktikkan oleh generasi yang kemudian dikenal dengan generasi alay. Bahasa yang mereka gunakan pun akhirnya teridentifikasi sebagai bahasa alay. Masalahkah ini?
Mari lihat sejarah. Di zaman revolusi, bahasa dan kata sering digunakan sebagai alat propaganda untuk memengaruhi orang lain. Kata-kata yang digunakan pada masa-masa itu biasanya tegas dan bernuansa keras, seperti “ganyang”, “tumpas”, “setan (atau hantu) politik”, “antek-antek”, dan seterusnya. Tujuannya adalah untuk membangkitkan emosi massa untuk kemudian tergerak untuk melakukan sesuatu, sesuai dengan yang diinginkan si pemberi pesan (propagandis).
Bergerak ke periode setelah kemerdekaan, bersamaan dengan bermekarannya “generasi bunga” di dunia sekitar tahun 70-80-an, yang melahirkan subkultur hippies dan punk di Amerika dan Eropa, bahasa Indonesia juga kemudian ikut terpengaruh dengan munculnya “bahasa prokem”, yang dianggap sebagai bahasanya anak muda (saat itu). Lema “elu”, “gue”, “sih”, “dong”, pun muncul sampai akhirnya diakui sebagai bahasa yang baku dengan dimasukkannya kata-kata tersebut ke dalam berbagai kamus, termasuk akhirnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Orang-orang tua waktu itu konon kerap mengomel: “Janganlah gunakan bahasa ‘sidong-sidong.’” Maksudnya “sih-dong”, “sih-dong”.
Pada periode 90-an, dunia kebahasaan nasional sempat dibuat gerah dengan munculnya kamus “bahasa gaul” yang waktu itu dipelopori oleh Debby Sahertian dan kawan-kawan dari Lenong Rumpi, sebuah acara komedi situasi yang disiarkan RCTI. Debby secara kreatif membuat padanan baru untuk kata-kata yang sudah dikenal, seperti “sutra” yang menggantikan “sudah”, “bolelebo” yang berarti “boleh”, “mawar” sebagai padanan “mau”, dan seterusnya.
Kemudian, seiring perkembangan teknologi, terminologi-terminologi produk teknologi menjadi begitu familiar bagi masyarakat. Di Amerika, Google dan Googling yang pertama kali diketahui penggunaannya dalam bahasa percakapan pada 2001 pun akhirnya dimasukkan sebagai lema di kamus Webster. “To tweet” juga sudah masuk dalam kamus Webster yang mengacu pada penggunaan media sosial Twitter untuk menyampaikan pesan.
Bahasa alay juga sedikit-banyak terkait dengan penggunaan teknologi, utamanya pesan singkat (SMS). Telepon genggam, yang sejatinya digunakan untuk menelepon, saat itu mulai berfungsi ganda sebagai alat ketik untuk menyampaikan pesan. Interaksi anak-anak muda ini dengan tombol ketiklah yang kemudian melahirkan “kreasi” berupa bahasa alay. Saya duga, penggunaan campuran huruf-angka awalnya karena kesalahan saat mengetik. Akan tetapi, ketimbang pusing dengan urusan itu mereka memilih untuk berkreasi dengan itu. jAd1lah TuLis4n semaCAm iNI.
Berkaca pada periode-periode tersebut di atas (walau saya belum secara komprehensif membuat pembabakannya), menurut hemat saya bahasa alay bukanlah gejala yang perlu dikhawatirkan. Toh ia pun hanya digunakan di kalangan terbatas, dan hanya dalam ragam bahasa santai dan akrab.
Bahasa alay hanyalah bagian dari dinamika berbahasa di Tanah Air, yang normal-normal saja. Malah, jangan-jangan ia bisa menambah kaya khazanah kebahasaan kita, seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Jadi, teT4p cemungudh! ;)
Catatan: saya belum tahu bagaimana kata “alay” muncul, dan apa maknanya sebenarnya.
0 Comments