Pages

Potret "Tasripin-Tasripin" Lain di Pesisir Riau


13665551841348432751

Kisah Tasrifin bocah berusia dua belas tahun putra dari Sartijo penduduk Dusun Persawahan Desa Gunung Lurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai tiga orang adik, tiba tiba saja menjadi pembicaraan rakyat Indonesia, Mulai dari para pejabat, sampai kepada buruh. Mulai dari loby hotel berbintang, sampai kepada warung kopi, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirim Staf khusus Kepresidenan untuk menyampaikan bantuan Presiden kepada Tasrifin. Sejak itu Tasrifin menjadi terkenal. Iapun diburu oleh berbagai media baik media surat kabar maupun media elektronik online mapun media televisi. Tasrifinpun berobah layaknya seperti salebritis dan juga seperti politikus yang sering menjadi buruan media.

Kehidupan yang dihadapi oleh Tasrifin dengan tiga orang adiknya yang tertua berusia Sembilan tahun dan yang nomor dua delapan tahun serta yang nomor tiga enam tahun dimana ibunya telah lama meninggal dunia akibat tertimbun longsor sewaktu bekerja sebagai penambang pasir, dan ayahnya karena ketiadaan dana untuk modal berusaha kemudian hijrah merantau ke Kalimantan. Sehingga Tasrifin mengambil alih tugas orang tuanya untuk menjaga dan memberi makan sang adik. Akibatnya Tasrifin harus meninggalkan bangku sekolah dalam bahasa modern nya putus sekolah. Adalah merupakan kisah perjalanan hidup biasa yang dialami oleh anak anak Indonesia di Negara ini.

Tidak ada yang luar biasa dari kisah hidup Tasrifin jika dibandingkan kisah kisah duka anak Indonesia yang tidak terekpos oleh media. Tasrifin dalam usianya dua belas tahun terpaksa putus sekolah karena mengambil tugas dan tanggungjawab orang tuanya, itu adalah kisah yang biasa dialami oleh anak anak Indonesia. Banyak anak anak Indonesia yang mengalami kisah seperti itu, bahkan lebih parah dari pada apa yang dialami oleh Tasrifin.

Lantas kenapa kita merasa sedih terhadap kisah perjalanan hidup Tasrifin, lalu kenapa kita tidak sedih atas perjalanan hidup anak anak nelayan yang berada di pesisir pantai Selat Malaka. Mereka juga mengalami nasib yang sama dengan apa yang dialami oleh Tasrifin. Dalam usia yang sama dengan Tasrifin anak anak nelayan ini sudah bekerja sebagai nelayan, mengharungi lautan berhadapan dengan ombak dan badai yang ganas. Mereka juga putus sekolah. Katakanlah mereka mempunyai orang tua, tapi karena ketiadaan mereka juga harus meninggalkan bangku sekolah seusia Tasrifin, karena keadaan yang tidak mencukupi didalam lingkungan keluarganya. Mereka rela berhujan dan berpanas serta berembun ditengah lautan untuk membantu penghasilan keluarga.

Jika kita membaca kehidupan manusia Pincalang (Perahu) di Provinsi Riau tentu kita akan lebih terenyuhlagi. Dimana mereka hidup didalam pincalang ditengah lautan. Ancaman demi ancaman yang sering datang mendera tanpa mereka ketahui entah kapan berakhirnya. Berbulan bulan bahkan bertahun tahun secara turun temurun mereka menjadi manusia pincalang. Anak anak mereka tidak mengenal sama sekali nikmatnya duduk dibangku sekolah. Setiap saat mereka harus siap untuk bertarung dengan ancaman Ombak dan Badai yang tidak dapat untuk dideteksi kapan datangnya. Belum lagi ancaman yang datang dari para lanun lanun laut yang siapa merampok, memperkosa dan membunuh. Namun mereka tetap tabah dan sedikitpun mereka tidak pernah menjadi perhatian kita.

Taroklah Manusia pincalang itu jauh dari pandangan mata kita, karena mereka hidup berkelompok diatas pincalang ditengah laut atau dibalik balik pulau diluasnya samudra. Ada yang begitu dekat dan melekat dari pandangan mata kita, tapi inipun tidak pernah menjadi perhatian kita. Malah kisah perjalanan hidupnya lebih tragis dari Tasrifin dan manusia pincalang. Yakni mereka adalah anak anak yang kehilangan masa depannya. Mereka menjadi pengemis dan gelandangan, setiap hari mereka berada di setiap lampu merah. Untuk memperjuangkan hidupnya mereka rela berpanas jika siang hari dan berembun pada malam hari dan tampa kenal dengan yang namanya hujan.

 13665547351230487405

Tidur mereka juga diemperan toko, gedung bertingkat, dan tidak sedikit pula diantara mereka yang harus tidur dikolong jembatan, karena mereka tidak punya rumah untuk tempat tinggal. Terkadang mereka tinggal dengan adik adiknya di emperan toko, gedung bertingkat dan dibawah kolong jembatan. Hanya beralaskan Koran atawa kardus. Untuk memenuhi perut sejengkal mereka terkadang tidak merasa malu jika harus mengorek ngorek tong sampah untuk mencari sisa makanan yang dibuang oleh orang orang kaya yang bersipat kapitalis dan borjuis. Dibanding dengan kehidupan Tasrifin yang masih punya rumah tempat berteduh, dan masih bisa tidur lelap walaupun diatas dipan yang reot. Bila dibanding dengan bocah bocah gelandangan dan pengemis, yang tidak punya tempat tinggal dan tidur hanya beralaskan Koran.

Jika Tasfirin hidup ditengah tengah masyarakat yang ada memperhatikan keselamatannya, beda dengan para anak anak pengemis dan gelandangan yang harus tidur diemperan toko dan gedung bertingkat atau dibawah kolong jembatan yang keselamatannya juga terancam. Kalau yang gelandangan itu anak perempuan ancaman pemerkosan dan pelecehan sek setiap saat akan mengancam nya, jika ia seorang laki laki, maka ancaman sodomi yang sering kita dengar akan menjadi ancaman bagi dirinya.

Kenapa terhadap mereka ini kita sepertinya tidak perduli. SBY seakan lupa memperhatikan nasib mereka ini. Pada hal kisah perjalanan hidup mereka untuk mempertahankan hidup lebih tragis bila dibandingkan dengan nasib Tasrifin. Kita tidak apriori terhadap perhatian Presiden SBY kepada Tasrifin. Tapi kita perlu juga menggugat, atas kealfaan Presiden SBY terhadap nasib anak anak gelandangan dan pengemis yang hidupnya lebih tragis dari Tasrifin. Apakah karena Tasrifin yang dibantu oleh Presiden SBY adalah Tasrifin yang hidup dipulau jawa, lantas mengabaikan nasip para Tasrifin yang ada didaerah luar jawa, Atau memang bantuan SBY kepada Tasrifin hanya sebuah pencitraan?

Jika seperti ini kebenarannya, pantaslah apa yang dikatakan oleh orang Sumatera bahwa Pemimpin yang berasal dari daerah pulau Jawa mempunyai Ismesentris yang tinggi terhadap suku diluar pulau jawa. Pada hal sebagai seorang pemimpin haruslah menanggalkan ismesentrisnya dan harus menganggap bahwa siapapun dia, berasal dari suku manapun dia tapi adalah tetap sebagai Bangsa Indonesia.

Mari kita buka mata kita, kita pandang Tasrifin Tasrifin yang lain, yang begitu banyak tersebar di Nusantara, tapi luput dari pandangan kita. Kita menjadi eforia terhadap kisah Tasrifin dalam menjalani kehidupannya hanya biasa biasa saja. Masih banyak Tasrifin Tasrifin lain yang tersebar di Nusantara yang menghadapi problema hidup lebih parah dan lebih duka dari pada Tasrifin yang dibantu oleh Presiden SBY. Tasrifin Tasrifin ini mengharapkan perhatian kita, perhatian pemerintah dan perhatian Presiden SBY secara Pribadi. Semoga.


 SUMBER