Pages

Ini Kisah Tentang Kejamnya Jakarta



Saya besar dan lahir di Jakarta. Ibukota yang menjadi tumpuan banyak orang mengadu peruntungan nasibnya. Banyak orang bilang ibukota sangat kejam. Ia akan melibas siapapun yang tak punya cukup nyali dan mental yang tangguh. Kriminalitas dimana-mana. Berjalan kaki, naik mobil, naik motor, tak ada bedanya, tak ada jaminan bisa selamat. Semua punya peluang menjadi korban. Entah itu korban kejahatan dari pelaku kriminal atau korban kecelakaan akibat ketidakdisiplinan.

Tanpa saya nyana, saya mengalami tindak kriminal yang cukup menyiutkan nyali di kota tempat saya dilahirkan ini. Kali ini saya alami bersama suami saya. Kisahnya bermula saat kami dulu memulai wirausaha menjadi agen sembako minyak goreng dan beras. Kami membeli minyak goreng langsung di depo di wilayah Tanjung Priok.

Suatu hari, kami baru menambah pegawai yang bekerja ditempat kami. Seorang pria yang baru saja datang dari kampung. Jadi dia belum terlalu kenal medannya Jakarta. Dia hanya kami kenalkan dengan rute perjalanan menuju depo langganan kami. Diluar itu dia tak cukup mengenal jalan di Jakarta. Pergilah pegawai kami ini membeli minyak goreng ke depo di Tanjung Priok. Namun belum sampai setengah perjalanan mobil pick up pengangkut minyak mogok akibat ban bocor di daerah Pancoran. Akhirnya pegawai kami meminggirkan mobil. Saat mencari bantuan untuk membetulkan ban mobil, tiba-tiba pegawai kami di datangi oleh orang-orang bertampang seram membawa derek mobil liar. Seketika tanpa basa basi, mobil kami didereknya dan membawa paksa pegawai kami naik ke atas mobil dereknya. Pegawai kami yang memang orang daerah dan masih sangat lugu ini tak bisa mencegah, karena memang ia tak mengerti apapun. Bahkan bahasa Indonesianya saja masih kental dengan logat daerahnya.

Untuk diketahui, orang-orang pembawa derek liar ini, gaya dan lakunya lebih mirip preman, nampak dari wajah mereka yang seram seolah ingin menghabisi siapapun yang berani menentangnya.

Mobil kamipun dibawa mereka ke pool derek mereka yakni di daerah Cawang. Suami sayapun dihubungi oleh pegawai kami melalui telepon umum, karena waktu itu handphone masih sangat jarang dipergunakan. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1998. Segera suami saya mendatangi pool derek yang dimaksud. Sampai saat ditelpon saya dan suami masih belum menyadari kalau kami sedang dalam ancaman menjadi korban kejahatan. Karena di ujung telepon, pegawai kami tak menceritakan kejadiannya secara detil. Mungkin karena di bawah ancaman dan tekanan kelompok itu. Jadi saat itu kami masih menyangka pegawai kami di tolong petugas derek resmi yang kebetulan sedang beroperasi di jalan.

Suami sayapun mendatangi alamat derek yang disebutkan. Sungguh kaget saat sampai disana, suami saya dikelilingi kelompok ini dibawah ancaman mereka. Mereka memaksa meminta sejumlah uang. Memaksa suami saya menyerahkan ATM kalau tak ingin kendaraan kami dihancurkan. Waktu itu posisi mobil kami sudah berada dibawah mesin penghancur yang setiap saat bisa mereka turunkan untuk meringsek mobil kami hingga remuk. Suami sayapun bingung dibuatnya. Mobil itu adalah satu-satunya harta kami mencari nafkah. Tak mungkin suami saya bisa merelakannya. Mereka meminta uang sampai senilai 5 juta rupiah. Namun uang di ATM kami tak banyak. Uang kami banyak berputar di luar untuk menambah modal usaha.

Di bawah ancaman mereka, suami sayapun digiring ke ATM. Ternyata uang di ATM hanya bersisa 500 ribu rupiah. Mereka tampak kesal. Dan suami sayapun bernegosiasi alot dengan mereka. Akhirnya dengan sangat marah dan meracau mereka meminta semua uang di ATM itu. Benar-benar habis. Tersisa hanya untuk saldo minimum. Tak terbayang bila di ATM kami tersimpan banyak uang. Pastilah akan habis semua harta kami. Akhirnya Alhamdulillah, meski harus kehilangan uang, mobil bisa kami dapatkan kembali. Dan pegawai sayapun pulang tanpa mereka lukai. Kami tetap bersyukur tak sampai ada yang menjadi korban fisik. Perkara uang tak lagi kami khawatirkan. Rejeki masih bisa kami cari.

Sejujurnya itulah masa terkelam dari jatuh bangunnya usaha kami. Saat itu kami merasa menjadi pecundang. Inginnya melawan. Namun rasanya melawan dalam keadaan seperti itu hanya akan membuat suami saya mati konyol. Karena mereka bisa saja menyimpan senjata dan jumlah merekapun lebih banyak. Selain itu ada kepentingan yang lebih besar untuk dipikirkan, yakni keberlangsungan usaha kami.

Kami yang warga Jakarta diperas di kampung kami sendiri tanpa punya kesempatan sedikitpun untuk melawan. ATM kami dikuras tanpa ampun saat kami baru saja memulai merintis usaha. Bayangkan orang Jakarta diperdaya gerombolan pendatang di Jakarta! Adakah yang lebih mengenaskan…

Namun kejadian ini tak menyurutkan langkah kami. Semua adalah pelajaran berharga yang membuat kami justru semakin survive menghadapi tantangan. Terutama tantangan di kerasnya persaingan dunia usaha.

Dari pengalaman ini, saya berani katakan Jakarta memang sangat kejam bagi mereka yang tak cukup punya mental baja. Bersaing mengadu nasib di Jakarta sangat penuh dengan tekanan. Perlu tahan banting menaklukkannya. Saya menjadi saksi untuk hal ini. Sudah merasakan sendiri perihnya diperdaya di tanah kelahiran dimana saya dibesarkan. Mungkin bila di survey sudah begitu banyak orang menyerah hidup di Jakarta dan kembali ke kampung halamannya. Meski masih banyak pula yang bisa bertahan. Dan mungkin pula tak semua orang mengalaminya. Namun tak ada salahnya menjadi peringatan bagi siapapun untuk waspada.

Karenanya, jangan pernah anda mengeluh menghadapi kerasnya kehidupan ibukota. Masih ingatkah anda dengan ungkapan sekejam-kejam ibu tiri masih lebih kejam ibukota? Begitulah.. Jakarta memang tak ramah terlebih bagi mereka orang kecil dan kaum papa…


sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/05/21/ini-kisah-tentang-kejamnya-jakarta/