BANYAK sinetron berkualitas di negeri ini yang diterima dan populer. Bajaj Bajuri, Keluarga Cemara, Si Doel Anak Sekolahan, Mariam Mikrolet, atau komedi dengan selera humor yang bagus dari Trans TV: Coffe Bean Show, 86atau Kejar Tayang.
Beberapa FTV di SCTV juga bagus karena menampilkan latar budaya
(katakanlah setting di daerah lokal seperti Bali, Bandung, atau
Yogyakarta) dan penggarapan teknisnya pun terbilang oke.
Beberapa tahun lalu Indonesia pernah juga membikin sinetron berkualitas dan prestige Dunia Tanpa Koma. Sinetron
ini mahal secara budget dan kualitas. Nah, seharusnya ini yang harus
menjadi acuan. Bukan hanya membikin tayangan yang ‘membodohkan’,
melainkan memberikan tayangan yang bersifat edukatif untuk kebanyakan
masyarakat kita yang awam. Dan berikut ini adalah apa yang saya (dan
orang-orang di luar sana) katakan dengan sinetron yang membodohi.
8. Editing
Masih ingat dengan editan sinetron ketika Multivison Plus Berjaya di era 90-an? Dalam sinetron Tersanjung, beberapa
scene dibuat tegang lengkap dengan potongan gambar yang repetitif
(berulang-ulang) dan musik dramatis. Jejreng! Yakni ketika wajah seorang
aktor langsung di-close up sehingga men-zoom. Maka lengkaplah
dramatisasi jaman jahiliyah itu. Untungnya hal itu tak lagi di pakai
dalam pesinetronan era 2000-an. Akan tetapi bukan berarti tanpa cela.
Nyaris sinetron kejar tayang di RCTI dan SCTV setipikal dan bikin riyeut
(pusing). Tentu karena hasil penggarapan yang serba dadakan dan
‘asal-asalan’.
7. Tata Kamera
Untuk
upaya efisensi, penggarapan sinetron kejar tayang dilakukan sangat
instan, cepat, dan menitikberatkan pada skenario dan proses editing ala
mi instan (siap rebus). Misalnya Nia Rhamadani adalah aktris yang sangat
sibuk. Ia pun syuting hanya seorang diri tanpa lawan main. Ia
berpura-pura berakting dengan lawan mainnya yang tak pernah ada (atau
diganti ‘stuntmant’ yang cuma kelihatan kepalanya doang dari belakang).
Padahal seharusnya syuting dikerjakan bersama-sama dengan aktor lain.
Nah, kalau begini, lihat bagaimana hasilnya? Jadi sangat aneh dan ndak
nyambung. Apalagi dalam scene yang menuntut semua aktornya berkumpul.
Contohnya acara makan malam. Nah, kalau teknik seperti yang saya
sebutkan tadi itu dipake, otomatis hasilnya hanya akan berupa
scene-scene berisi kepala aktor secara close up yang digabungkan. Seolah
mereka berada di tempat yang sama. Parah.
6. Mimik Muka
Susah
membedakan ekspresi orang yang sedang bersedih dengan ekspresi orang
yang sedang menahan berak. Suatu hari saya dan keluarga menonton
sinetron Cahaya tepat
ketika Naysila Mirdad menangis tersedu sedan. Keponakan saya yang
berumur 7 tahun itu pun nyeletuk: “kayak lagi nahan e’e..” Haha! Dan di
sinetron kita, kerap kali pemeran antagonis harus selalu marah-marah,
psikopat, tidak manusiawi, licik, dan ‘jarang’ ditemui di kehidupan
nyata. Tatapan mereka tajam dan melotot seperti hendak keluar dari
rongganya. Mereka juga suka bergumam sendiri seperti orang skrizofenia.
Tapi pemeran tokoh ini adalah aktor-aktor yang hebat. Meriam Bellina dan
Vicky Burki adalah beberapa di antaranya. Kalaulah mereka-mereka ini
main di sinetron bagus, pasti akan sangat menarik. Yap, begitu banyak
aktor bagus yang bermain di film/sinetron jelek, bukan?
5. Tanda Lahir
Tanda
lahir merupakan senjata wajib bagi sinetron-sinetron kita (terutama
yang kejar tayang) agar terkesan dramatis dan seru! Misalnya Nikita
Willy adalah anak orang kaya. Tapi kemudian seorang ibu (katakanlah
diperankan Mpok Atik) menghampirinya dan bilang kalau tompel di leher
Nikita adalah sebuah tanda. “tanda apa?” tanya Nikita. “Bahwa kau adalah
anakku..” kata Mpok Atik. Nikita pun terkejut, belakangan ia tahu kalau
ia hanyalah anak hasil adopsi. Ia pun menjadi miskin dan hidup berdua
bersama ibu kandungnya di sebuah bukit. Belum cukup seru? Buatlah Nikita
diperkosa oleh seorang pelaku illegal loging (penebang liar).
4. Bergumam Sendiri
Kebanyakan
sinetron kita memang dibuat komikal , khususnya untuk sinetron remaja.
Tapi ini tidak mutlak. Banyak juga sinetron untuk ibu-ibu yang
menempatkan tokohnya ngomong sendiri. Padahal sangat jarang orang-orang
di dunia ini melakukannya (apalagi di tempat umum). Secara teknis, hal
ini dilakukan untuk ‘penghematan’. Maksudnya tidak perlu berepot-repot
dengan teknik dubbing (jadi dalam scene, seorang aktor hanya berekspresi
sementara suara dari dalam kepalanya terdengar). Meski teknik efisien
ini sudah jarang digunakan, tapi di beberapa sinetron lepas hal ini
dilakukan. Misalnya seorang cewek yang jengkel karena mobilnya mogok. Ia
pun bergumam dengan ‘durasi’ yang lumayan panjang lengkap dengan
ekspresi lebay. “Ieh,, bĂȘte banggets sie ni mobil.. (sambil nendang itu
mobil)”. Uhmm..
3. Saudara Seayah/Seibu/Inses
Cerita
dengan tema jenis ini berulang dengan kemasan yang berbeda. Sialnya,
yang membedakan sinetron yang satu dengan sinetron yang lain (dari tema
ini) hanya sebatas pada pemain dan naskah siap saji. Maksud saya begini,
dua orang saling mencintai dan berniat menikah, namun belakangan mereka
tahu kalau keduanya ini saudara kandung. Mereka pun akhirnya tak bisa
bersatu dan meninggalkan duka lara. :p Hmm, sangat lagu lama, kan?
Kenapa harus begitu. Mungkin penulis skenarionya harus mencoba yang ini:
dua orang yang saling jatuh cinta tetap menikah meski keduanya saudara
kandung. Kelak anak mereka lahir cacat, jadi homo lalu mampus kelindes
kereta. Seru, kuaaan? (ekspresi Dara dalam Rumah Dara).
2. Ending
Penulis
skenario adalah 'biang kerok' dari berbagai macam ending yang maksa,
tak masuk akal, dan harus diakhiri cepat-cepat kalau sinetron itu tidak
mendapat rating tinggi. Tapi (tentu) kambing hitam tidak hanya ditujukan
kepadanya. Sebab ini hanyalah persoalan bisnis.
Sebenarnya penonton ingin mendapatkan tayangan yang lebih baik dari yang sudah ada.
Tapi para produsennya barangkali menganggap bahwa itu semua adalah
selera masyarakat Indonesia. Jadi mereka (produsen) ‘tak sepenuhnya bisa
disalahkan’ karena membuat produk yang ‘diinginkan’ rakyat banyak. Hmm,
harus diluruskan, tuh.
1. Plagiat
Comot
sana comot sini, tanpa ijin. Toh orang Amrik atau Asia sana nggak ngeh.
Hmmh, yang menggelikan pernah ada sinetron yang nyontek film Amrik Mrs.Doubtfire(diperankan
Robin William, ia menyaru sebagai pengasuh wanita berusia senja demi
untuk bertemu anak-anaknya). Nah, versi Indo-nya diperankan Arie K.
Untung lengkap dengan dandanan kebaya (dan dia juga jadi baby sitter).
Parahnya, istrinya (diperankan Wulan Guritno) nggak ngeh kalau itu
mantan suaminya. Maksud saya, logikanya dengan hanya kebaya dan sanggul,
Arie lebih mirip banci ketimbang perempuan sesungguhnya. Berbeda dengan
film hasil comotannya yang memang full effect dan make up.