Pages

Eksotisme Arsitektur Kuno di Yogyakarta


Selama ratusan tahun tinggal di Yogyakarta - Indonesia, Bangsa Belanda meninggalkan sejumlah bangunan bersejarah dengan arsitektur bergaya Eropa yang masih bisa Anda nikmati keindahannya hingga kini.

LOJI - Kawasan Indische Pertama di Yogyakarta
 

Selama ratusan tahun mendiami Indonesia, termasuk Yogyakarta, Belanda meninggalkan sejumlah bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan itu oleh warga Yogyakarta sering disebut loji karena ukurannya yang besar dengan halaman yang luas.
Benteng Vredeburg (Loji Besar)   

Bangunan benteng yang sering disebut Loji Besar atau Loji Gede itu dibangun pada tahun 1776 - 1778, hanya dua tahun berselang setelah berdirinya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satu pecahan kerajaan Mataram. Benteng yang semula bernama Rustenburg itu konon sengaja didirikan di poros Kraton - Tugu agar bisa mengawasi gerak-gerik Kraton. Semasa Loji Besar masih digunakan sebagai benteng, terdapat sebuah meriam yang sengaja diarahkan ke Kraton dalam posisi siaga tembak sehingga memudahkan penyerangan. Hal itu dilakukan agar pihak Kraton mengakui bahwa Belanda memiliki kekuatan.

Benteng vredeburg tahun 1980an dan 1901
batalyon 403 tahun 1970 dan Denah Benteng
Gedung Agung (Loji Kebon)  
 
Loji Kebon, kini dikenal dengan nama Gedung Agung. Bangunan yang juga bergaya eropa itu didirikan tahun 1824 dan digunakan sebagai Gedung Karesidenan. Halaman Loji Kebon sangat luas dan dihiasi arca-arca yang dikumpulkan para pejabat Belanda dari penjuru kota Yogyakarta. Tahun 1912, kompleks Loji Kebon dilengkapi dengan bangunan Societeit de Vereniging, tempat pejabat Belanda berdansa dengan iringan biola.
Seperti halnya Loji Besar, Loji Kebon pun juga menjadi saksi sejarah. Pembangunan gedung yang dirancang A Payen ini sempat berhenti karena Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830 yang hampir membuat pemerintah Belanda bangkrut. Pada Masa Jepang, gedung ini menjadi kediaman petinggi Jepang bernama Koochi Zimmukyoku Tyookan. Demikian pula sejak ibukota Indonesia berpindah ke Yogyakarta 6 Januari 1946, gedung ini menjadi istana kepresidenan. Hingga kini, meski ibukota Indonesia berpindah lagi ke Jakarta, gedung ini tetap berstatus istana kepresidenan.
Loji Kecil
Loji Kecil yang berlokasi di sebelah timur Vredeburg kini, tetapnya wilayah Shopping hingga hampir perempatan Gondomanan. Berbeda dengan Loji Besar yang berfungsi sebagai benteng dan Loji Kecil yang berfungsi sebagai gedung pemerintahan, Loji Kecil berfungsi sebagai wilayah hunian. Di kawasan itu juga terdapat Gedung Societet Militair yang dahulu digunakan sebagai tempat para serdadu militer Belanda bersantai.
Kawasan Loji kecil merupakan pusat kawasan hunian orang Belanda pertama di Yogyakarta. Sejumlah fasilitas pendukung kini juga masih bisa dinikmati keindahannya, misalnya gereja Protestansche Kerk yang berdiri tahun 1857 (kini menjadi Gereja Kristen Marga Mulya, berlokasi di utara Gedung Agung) dan Gereja Fransiskus Xaverius Kudul Loji (bangunan lama) yang berdiri tahun 1870, berada di sebelah selatan kawasan Loji Kecil.
Loji Setan
Loji Setan. Dinamakan demikian karena gedung yang hingga kini tak diketahui tahun pembangunannya itu dikenal angker. Banyak orang mengatakan, pada ruang sebelah timur dan aula tengah sering terdengar suara orang minta tolong dan suara iringan musik dansa. Gedung yang kini berfungsi sebagai kantor DPRD ini menurut cerita pernah disinggahi Gubernur Jendral Raffles pada tanggal 15 Mei 1812, saat Belanda sudah berkuasa di Yogyakarta.
Loji Setan sejak beberapa lama memiliki beragam fungsi. Di masa lalu, gedung ini sering digunakan untuk tempat bermeditasi dan sebagai ruang pameran, misalnya pameran oleh Luch Bescherming Dienst pada tahun 1940. Pasca Kemerdekaan, gedung yang pada awalnya bernama Loji Marlborough ini digunakan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia (1945 - 1949), kantor Dewan Pertahanan Negara dan penyelenggaraan sidang Kabinet (1948).
 
BINTARAN - dari Kediaman Pangeran Bintoro ke Kawasan Indische
Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930an .Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah yang bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula.

Ndalem Mandara Giri  

Arsitektur bangunan ndalem tersebut merupakan perpaduan Jawa dan Belanda. Ciri Jawa terlihat dari adanya pendopo yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara, ciri bangunan Belanda terlihat dari ruangan yang lebar dan berdinding tinggi serta jendela khas Belanda yang besar dan memiliki dua daun.Setelah ditinggalkan Pangeran Haryo Bintoro, bangunan ini sempat ditinggali oleh trah kraton lainnya. Pendopo ndalem yang cukup lebar sejak lama telah digunakan sebagai ruang pameran keris, bahkan setelah rumahnya sendiri dikosongkan sejak tahun 1997. Kini,dimanfaatkan sebagai kantor Karta Pustaka, sebuah lembaga Indonesia Belanda.
Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman 
Gedung Sasmitaloka Jenderal Soedirman yang bisa ditemui persis di sisi kiri jalan Jalan Bintaran. Dahulu, bangunan yang berdiri tahun 1890 itu dimanfaatkan sebagai kediaman pejabat keuangan puro Paku alam VII bernama Wijnschenk. Bangunan itu juga sempat menjadi rumah dinas Jendral Soedirman, kemudian kediaman Kompi Tukul setelah kemerdekaan.
 
Museum Biologi (kantor Komando Pemadam Kebakaran) 
Bangunan Museum Biologi yang berada di Jalan Sultan Agung dahulu dimanfaatkan sebagai tempat tinggal pengawas militer daerah Pakualaman. Kediaman seorang warga Belanda bernama Henry Paul Sagers, kini dimanfaatkan sebagai kantor Komando Pemadam Kebakaran. 
Penjara Belanda (Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan) 
Bangunan bersejarah lain adalah penjara Belanda yang kini digunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan.
Gereja Santo Yusuf 
Gereja Bintaran didirikan atas ide orang Jawa yang merasa tidak sreg dengan cara berdoa orang Belanda. H. van Driessche. SJ, seorang keturunan Belanda Indonesia menjadi koordinator pendirian gereja yang berlokasi di ujung selatan Jalan Bintaran ini. Penamaan gereja yang berdiri tahun 1931 ini menjadi Gereja Santo Yusuf berkaitan dengan permohonan Driessche pada Santo Yusuf ketika sulit mencari lokasi gereja.
Kotabaru, Jelajah ke Kota Taman Tua
Kawasan Indische yang layak disebut sebagai salah satu wilayah paling maju di jamannya. Dibangun dengan konsep kota taman yang berpola radial, Kotabaru menjadi sebuah kawasan yang sejajar dengan Menteng, sebuah kawasan Indische di Jakarta.
Kotabaru, atau dulu disebut Nieuwe Wijk, adalah sebuah kawasan yang berkembang mulai tahun 1920 sebagai konsekuensi kian padatnya kawasan Loji Kecil. Kemajuan industri gula, perkebunan dan meningkatnya ketertarikan mengembangkan pendidikan dan kesehatan menyebabkan jumlah orang Belanda yang menetap di Yogyakarta semakin meningkat. Kotabaru menjadi kawasan hunian alternatif yang berfasilitas lengkap, sejajar dengan kawasan Menteng di Jakarta.

Jalan Kewek

alan Kewek yang menjadi gerbang selatan kawasan ini misalnya, menyimpan cerita yang cukup jenaka. Jalan berupa jembatan yang menghubungkan seberang timur dan barat Sungai Code itu sebenarnya dinamai Jalan Kerkweg, namun karena banyak orang Jawa sulit melafalkannya, namanya pun berubah menjadi Kewek. Karena berupa jembatan, jalan yang kini bernama Abubakar Ali itu juga disebut Kreteg Kewek.



Gereja Santo Antonius Kotabaru 

Gereja Santo Antonius Kotabaru. Ciri khas bangunan Eropa tampak pada bangunan menara tinggi di bagian depan gereja, tiang-tiang besar dari semen cor sebanyak 16 buah, juga plafon berbentuk sungkup. Gereja yang berdiri tahun 1926 dan semula bernama Santo Antonius van Padua ini mulai berkembang saat tempat ibadah semula di rumah Mr Perquin (depan Masjid Syuhada) sudah tak mencukupi lagi.Gedung Kolese Santo Ignatius yang dulu digunakan sebagai kantor Kementrian Pertahanan
 
Bangunan Kuno Lainnya 
 
Menyusuri setiap relung Kotabaru. Sederetan bangunan kuno berarsitektur Belanda akan ditemui dengan mudah. Gedung bekas Kementrian Luar Negeri yang berlokasi di simpul jalan menuju Jembatan Gondolayu, rumah Brigjend Katamso yang berada di sebelah timur Stadion Kridosono, serta bangunan gardu listrik rancangan khas Belanda.

  
Arsitektur keagamaan tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia, seni arsitektur ini berkembang pesat di Pulau Jawa. Pengaruh sinkretisasi agama di Jawa meluas sampai ke dalam arsitektur, sehingga menghasilkan gaya-gaya arsitektur yang berkhas Jawa untuk bangunan-bangunan ibadah agama Hindu, Buddha, Islam, dan sampai ke umat yang berjumlah kecil yaitu Kristen.

Arsitektur Jawa.Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga menyimpan rahasia tentang kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan sarana pemiliknya untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya sehingga dapat dimengerti dan dinikmati orang lain. Rumah Jawa juga menyangkut dunia batin yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. 
Kotagede - Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)
Disebut Kotagede adalah karena pada zaman dahulu, kawasan ini merupakan Ibu Kota nya kerajaan Mataram Islam. Kota Gede (Gede = Besar) disebut demikian karena pada masa lalu kota ini didatangi banyak penduduk, mungkin seperti kota jakarta kalo sekarang. Maka tak heran jika kemudian di Kotagede bisa dengan mudah di temui bangunan-bangunan bersejarah sisa peninggalan kerajaan mataram yang merupakan cikal bakal kerajaan Jogjakarta. Bangunan-bangunan ini merupakan cagar budaya yang di lindungi keberadaannya.
Kotagede merupakan saksi bisu dari tumbuhnya Kerajaan Mataram Islam yang pernah menguasai hampir seluruh Pulau Jawa. Makam para pendiri Kerajaan Mataram Islam, reruntuhan tembok benteng, dan peninggalan lain bisa kita temukan di Kotagede.

Pasar Kotagede  


http://blog.diansastrowardoyo.net/category/foto-jurnal/
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. 
Kompleks Makam Pendiri Kerajaan  

Kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Terdapat 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, harus mengenakan busana adat Jawa . Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
 
Masjid Kotagede 

Masjid Kotagede, masjid tertua di Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. terdapat lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam
 

Kedhaton
3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran: 
ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In Glorium Maximam).

Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.